WELCOME

” Blogger ini bukan merupakan forum penghakiman ataupun penuduhan. tetapi merupakan kesempatan proses pembelajaran strategis untuk mengasah dan membangun nalar yang konstruktif/kristis, kemampuan konseosi dan taktik belajar yang efektif

Selasa, 26 Oktober 2010

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP INDONESIA, & LANGKAH ANTISIPATIF YANG HARUS DIAMBIL OLEH GMKI SELAKU ORGANISASI KEMAHASISWAAN & PENGKADERAN


A.    Pendahuluan
Pada decade ini GMKI diperhadapkan dengan berbagai issue strategis, yang perlu disekapi secara serius yakni perubahan iklim. Sebagai organisasi pemikir dan organisasi pengkaderan yang selalau bergerak dalam jenjang pengkaderan dan arakan-arakan oikumenism harus dapat menunjukkan kehadirannya ditengah-tengah pusaran zaman ini yakni GMKI harus berani menyakapi berbagai problematika permasalahan baik tantangan secara internal maupun ksternal, salah satu tantangan universal saat ini adalah perubahan iklim. Ini merupakan tantangan multidisiplin paling serius, kompleks dan dilematis yang dihadapi umat manusia pada awal abad ke-21, bahkan diperkirakan hingga abad ke-22.

B.     Dampak Perubahan Iklim Terhadap Indonesia
Pada tahun 2010 ini, dampak tersebut sangat kita rasakan, terutama dalam hal perubahan iklim. Pada tahun ini musim hujan berlangsung cukup panjang tanpa musim kemarau yang jelas, hingga September 2010 catatan data bencana BNPB untuk kejadian banjir sebanyak 196 kali. Angka ini tentu mengalami kenaikan karena rata-rata hanya terjadi 150 kali per tahun. Hal ini jelas menunjukkan terjadi perubahan iklim yang disertaidengan perubahan sifat hujannya (Baca, http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=3107). Dampak perubahan iklim ini semakin kita rasakan antara lain kenaikkan suhu udara, perubahan volume volume curah hujan, pola musim kering yang lama, pola hujan yang semakin lebat dan kenaikkan permukaan air laut. Hasil studi A Climate Change Vulnerability Mapping for Southeast Asia yang dilakukan Economy and Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA), Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim. Kerentanan ini diukur dari tingkat tampilan (exposure), sensitivitas dan kemampuan beradaptasi. Bahkan dari hasil kajian menunjukkan 7 (tujuh) Kabupaten/kota di Indonesia menduduki 10 (sepuluh) besar kota paling rentan terhadap perubahan iklim (Baca, http://www.docstoc.com/docs/5431932/economy-and-environment-program-for southeast-asia-%28eepsea%29). Perubahan iklim ini menjadi tantangan kita bersama, baik itu unsur mahasiswa pemerintah, profesional, dunia usaha, akademisi maupun masyarakat, yang menuntut adanya upaya tindakan penanggulangan dan mitigasi perubahan iklim secara terpadu dan efektif. Dimana kondisi geografis Indonesia terletak pada busur vulkanik circum pacific dan trans asiatic volcanic belt dengan jajaran pegunungan yang cukup banyak. Adanya 129 gunung api aktif atau 17% dari total gunung aktif di dunia, ditambah kontur relief muka bumi yang heterogen dengan kemiringan cukup tinggi, memiliki potensi bencana yang juga cukup tinggi. Belum lagi, terdapat pola sungai yang beragam dan panjang serta memiliki hulu sungai banyak. Kondisi ini menyebabkan seringnya terjadi bencana sedimen, meliputi tanah longsor, sedimentasi waduk, banjir lahar dingin, dan banjir bandang. Untuk itu GMKI selaku organisasi kemahasiswaan yang selalu hadir dalam setiap dialektika yang konstruktif dapat mendorong dan memperkaya wacana berpikir yang komprehensif dalam membangun tatanan planet bumi yang kita cintai ini. GMKI memandang bahwa perubahan iklim ini adalah suatu pertanda bahwa umat manusia telah menjauh dari kehidupan alam. Dimana manusia yang dulu hidup berdampingan (nomad) dengan alam, kini mulai ditinggalkan, yakni hutan bukan lagi menjadi tempat untuk mencari nafkah, tetapi hutan telah menjadi bahan komoditas bagi kelompk tertenu, begitu juga dengan Rancangan Tata Ruang Wilyah (RTRW) tidak mengitung dampak negative bagi keberlangsungan manusia. Realisasi RTRW ini harus lebih terpadu mulai dari perencanaan, penyusunan program, rencana aksi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi harus mempertimbangkan dampak negativenya.

Perubahan iklim global sebagai implikasi dari pemanasan global telah mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang dekat dengan permukaan bumi. Pemanasan global ini disebabkan oleh meningkatnya gas-gas rumah kaca yang dominan ditimbulkan oleh industri-industri. Gas-gas rumah kaca yang meningkat ini menimbulkan efek pemantulan dan penyerapan terhadap gelombang panjang yang bersifat panas (inframerah) yang diemisikan oleh permukaan bumi kembali ke permukaan bumi. Perubahan iklim sebagai implikasi pemanasan global, yang disebabkan oleh kenaikan gas-gas rumah kaca terutama karbondioksida (CO2) dan metana (CH4), mengakibatkan dua hal utama yang terjadi di lapisan atmosfer paling bawah, yaitu fluktuasi curah hujan yang tinggi dan kenaikan muka laut. Sebagai negara kepulauan, Indonesia paling rentan terhadap kenaikan muka laut. Telah dilakukan proyeksi kenaikan muka laut untuk wilayah Indonesia, hingga tahun 2100, diperkirakan adanya kenaikan muka laut hingga 1.1 m yang yang berdampak pada hilangnya daerah pantai dan pulau-pulau kecil seluas 90.260 km2.

Perubahan temperatur atmosfer menyebabkan kondisi fisis atmosfer kian tak stabil dan menimbulkan terjadinya anomali-anomali terhadap parameter cuaca yang berlangsung lama. Dalam jangka panjang anomali-anomali parameter cuaca tersebut akan menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Dampak-dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim tersebut diantaranya adalah: (1). Semakin banyak penyakit (Tifus, Malaria, Demam, dll.), (2). Meningkatnya frekuensi bencana alam/cuaca ekstrim (tanah longsor, banjir, kekeringan, badai tropis, dll.), (3). Mengancam ketersediaan air, (4). Mengakibatkan pergeseran musim dan perubahan pola hujan, (5). Menurunkan produktivitas pertanian, (6). Peningkatan temperatur akan mengakibatkan kebakaran hutan, (7). Mengancam biodiversitas dan keanekaragaman hayati, dan (8). Kenaikan muka laut menyebabkan banjir permanen dan kerusakan infrastruktur di daerah pantai. Terdapat dua dampak yang menjadi isu utama berkenaan dengan perubahan iklim, yaitu fluktuasi curah hujan yang tinggi dan kenaikan muka laut yang menyebabkan tergenangnya air di wilayah daratan dekat pantai (Lihat, Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008). Berkenaan dengan proyeksi kenaikan muka laut, telah dilakukan penelitian sebelumnya, yaitu proyeksi kenaikan muka laut untuk wilayah Indonesia. Hasil proyeksi tersebut menunjukkan wilayah Indonesia mengalami kehilangan daratan-daratan akibat kenaikan muka laut. Jika diambil hasil proyeksi untuk tahun 2010, 2050, dan 2100 dengan luas daratan yang hilang secara berturut-turut seluas 7408 km2, 30120 km2, dan 90260 km2 maka sekitar 0.03% luas daratan yang hilang (Susandi, A., Y. Firdaus dan I. Herlianti. Impact of Climate Change on Indonesian Sea Level Rise with Referente to It’s Socioeconomic Impact. EEPSEA Climate Change Conference, Bali. 2008).

C. Langkah Antisipatif Yang Harus Diambil Oleh GMKI Selaku Organisasi Kemahasiswaan & Pengkaderan
Kondisi perubahan iklim dengan curah hujan saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh terjadinya efek El Nino-La Nina dan Dipole Mode. kondisi dinamika atmosfer dan laut akan terus berlanjut hingga Februari 2011 sehingga memberikan indikasi peluang majunya awal musim hujan di sebagian besar daerah di Indonesia. 58,6% daerah yang mengalami sifat hujan normal, 37,3% diatas nomal, dan 4,1% yang dibawah normal, daerah Sumatera yang mengalami sifat hujan di atas normal, meliputi Aceh Tengah, sebagian besar Sumatera Utara, Lampung, dan Bangka. Sementara daerah Jawa, meliputi DKI, sebagian Jawa Barat (Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Sumedang), sebagian Jawa Tengah (Tegal, Brebes, Pekalongan, Kendal, Banyumas, Surakarta, Rembang, Bojonegoro), sebagian DIY, dan sebagian Jawa Timur (Pacitan, Malang, Lumajang, Sidoarjo, Pasuruan dan Jember bagian utara). Daerah di luar Jawa yang mengalami curah hujan di atas normal, termasuk sebagian besar Bali, Lombok Barat dan Tengah, dan sebagian Kupang, Kaltim, Sulsel, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Sanana, Saumlaki, dan Merauke bagian selatan (Baca, http://www.bmkg.go.id/depan.bmkg). Untuk itu pertanyaan kristisnya adalah langkah antisipatif apa yang harus diambil oleh GMKI selaku organisasi kemahasiswaan dan pengkaderan untuk menghadapi dampak perubahan iklim ini?

Teriring Salam Doa Agung Tuhan Yesus Kristus

Tinggi Iman
Tinggi Ilmu
Tinggi Pengabdian

“Ut Omnes Unum Sint”

Kamis, 21 Oktober 2010

BERINTEGRITAS DALAM MEWUJUDKAN PERKUMPULAN SENIOR GMKI PADA KONGRES GMKI XXXII 2010 DI MAKASSAR


Hal yang paling mendasar dalam membangun hubungan emosional yang intim dalam sebuah oraganisasi adalah bagaimana setiap orang mampu bekerja sama, namun tidak  banyak orang yang menyadari bahwa setiap waktu, setiap jam, setiap menit, setiap detik kita selalu belajar tentang organisasi. Sel sebagai suatu unit kehidupan tidak lepas dari proses berorganisasi. Sel memang tanpa kendali dari otak, tapi eksistensi sel sudah diatur atau terprogram dalam sebuah molekul DNA dalam bentuk informasi perintah yang nantinya akan diterjemahkan dalam bentuk rantai-rantai asam amino (protein). Sel-sel bergabung membentuk jaringan, jaringan-jaringan bergabung membentuk organ, dan organ-organ bergabung membentuk sistem organ, itulah organisasi. Perkumpulan senior GMKI dalam menjalankan eksistensinya membutuhkan seorang pemimpin yang berfungsi sebagai sumber informasi, komando, pengaturan segala aktivitas sel. Sebuah organisasi tidak hanya butuh seorang pemimpin, tetapi butuh bagian-bagian lain yang saling berintegrasi dalam mewujudkan tujuan bersama, yaitu eksistensi sel dalam menjalankan roda perkumpulan senior GMKI ini, apabila kinerja salah satu komponen sel terganggu, maka eksistensi sel juga terganggu. Artinya, sekecil apapun kontribusi untuk menghadirkan perkumpulan senior GMKi Nasional ini  memiliki sebuah nilai yang tinggi. Banyak organisasi yang mengalami stag di tengah jalan karena masing-masing orang mempunyai tujuan sendiri-sendiri yang sangat individual. Tetapi lebih dari itu, hal yang paling sulit untuk kita lakukan adalah mengorganisir gerak langkah antara keinginan/nafsu dan akal budi. Akal budi kita selalu menjadi pedoman hidup untuk menuju kebaikan, namun di tengah jalan, nafsu kita membuat jalan menjadi terseok-seok, melenceng dari keutamaan akal budi. Menyatukan gerak langkah antara keinginan dan akal budi menjadi sebuah pekerjaan yang paling berat bagi manusia. Untuk itu kuncinya adalah kenali tujuan kita dalam berorganisasi apakah sudah sesuai dengan tujuan organisasi yang diiginginkan atau belum?. Dengan berorganisasi kita belajar untuk memimpin, termasuk memimpin diri kita atas akal budi dan hawa nafsu. Manusia dalam berorganisasi cenderung membentuk struktur organisasi yang ada; misalnya dalam membuat keputusan, memimpin, mengatasi konflik yang ada dalam struktur, mendekonstruksi nilai dan mengelaminir budaya birophatologi. Peran manusia dalam organisasi diarahkan pada kemungkinan memperbaiki organisasi. Hal ini dilakukan tidak dengan cara mengubah struktur yang ada tapi melatih manusia melalui training agar proses dalam kelompok lebih efektif. Seorang biolog Ludwig von Bertalanffy menyatakan bahwa teori sistem dapat dianalogikan dengan sistem yang ada pada organisme. Organisme sel itu terdiri atas sel-sel, dan sel-sel membentuk suatu molekul. Tiap bagian yang ada membentuk sistem yang terintegrasi dan terdiri dari struktur yang saling bergantungan dan bekerja secara harmonis. Ada dua konsep mendasar dalam system yaitu pertama, konsep subsistem yang melihat hubungan antar bagian sebagai hubungan sebab akibat. Konsep kedua memandang sebab jamak (multiple causation) sebagai hubungan yang saling berkaitan yakni tiap bagian merupakan kompleks (kumpulan) yang tiap faktornya saling berkaitan. Begitu juga dengan dua pola sistem yakni open system (sistem terbuka) dan closed system (sistem tertutup) dalam konteks hubungan organisasi dengan lingkungan eksternal. Sistem “terbuka”, adalah jika mempunyai transaksi dengan lingkungan mana ia berada. Transaksi antara suatu organisasi dengan lingkungannya mencakup “input” dan “output”. Input biasanya dalam bentuk informasi, energi, uang, pegawai, material dan perlengkapan yang diterima organisasi dari lingkungan tersebut sedangkan output pada lingkungan organisasi bermacam-macam bentuk, tergantung pada sifat organisasi. Hubungan pada tiap aspek input dan output yang ada pada perkumpulan senior GMKI ini merupakan suatu interaksi yang membentuk siklus yang tiada akhir (networking). Konsep input-output sering disebut sebagai model linear, yaitu bagaimana sistem dapat dijelaskan dalam konteks dunia nyata. Dengan demikian role set merupakan konsep penting dalam memahami seting sosial tempat individu memberikan kontribusinya. Konstruk ini dapat berguna dalam menganalisis perilaku interpersonal dalam suatu kerja organisasi. Dalam dunia yang didominasi perubahan yang cepat dan intensif, organisasi dengan feedback yang jelek atau homeostatis yang lemah akan mengalami disorganisasi. Hal yang perlu diingat yaitu bahwa konsep sistem terdiri dari subsistem yang memilih interaksi serta saling tergantung dan bekerja sama dengan tujuan agar perkumpulan senior GMKI menjadi suatu perkumpulan yang memiliki bargaining position dalam negara NKRI ini maupun dalam kancah international. Rencan dibentuk perkumpulan senior Nasional ini bertujuan untuk memberi suatu struktur, karena ada strukturlah maka ada aturan organisasi, ada sistem, dan ada karakteristik. Struktur juga membentuk pola otoritas, kekolegaan  serta mendefinisikan peran dari top manajemen ekskutif, midle manajemen supervisor, dan pekerja dengan otoritas masing-masing. Struktur mendiktekan pola jaringan komunikasi sebagai dasar aliran informasi dan pengambilan keputusan dan juga sistem kerja yang berfokus pada pencapaian tugas. Perkumpulan senior ini dapat dikatakan mekanis ketika dasar sistem manajemen mampu mencirikan: 1. Tugas-tugas sangat dibedakan dan terspesialisasi dengan hak spesifikasi yang tepat, 2. Tanggung jawab dan metode, 3. Koordinasi dan kontrol lewat supervisi hirarkis, 4. Komunikasi dengan link eksternal dikontrol oleh hirarki paling atas, 5. Garis komando yang kuat dan turun ke bawah, 6. Kepemimpinan yang menekankan hubungan otoritas-kepatuhan, 7. Pengambilan keputusan berasal dari level tertinggi dalam hirarki, 8. Mengukur tugas secara berkelanjutan dan tujuan melalui interaksi organisasi yang terlibat dengan perubahan fungsional dan mudah diatur pada level kerja, 9. Koordinasi dan kontrol lewat interaksi pihak yang terlibat, 10. membutuhkan pembagian tanggung jawab dan kesalingtergantungan, 11. Komunikasi dengan lingkungan eksternal secara relatif ekstensif dan terbuka pada tiap level organisasi, 12. Menekankan pada kesalingpercayaan, konsultasi dan berbagi info naik dan turun – lateral dan diagonal dalam organisasi – sebagai dasar dari otoritas di organisasi, 13. Gaya kepemimpinan yang mampu memberikan kepercayaan tingkat tinggi dalam pemecahan masalah organisasi, dan 14. Berbagi tanggung jawab secara luas untuk mengambil keputusan di setiap level organisasi. Dalam membangun sebuah organisasi, perubahan dilingkungan akan membuat sistem organisasi merespon dengan perubahan pengaturan internal, pengaturan ini dapat dipahami sebagai empat sub sistem dinamis yaitu 1. Tugas yang harus dilakukan, 2. Struktur organisasi, 3. Peralatan teknologi untuk membantu tugas, 5. Manusia (human). Keefektifitas dari semua ini tergantung kepada ketetapan dalam menerjemahkan hubungan (kontingensi) dalam situasi yang ada. Kekuatan pimpinan, kualitas hubungan dengan bawahan, kejelasan struktur tugas yang harus dilakukan, level kemampuan dan motivasi bawahan adalah sedikit dari beberapa kontingensi yang harus diketahui oleh administrator, dan hal itu akan berkaitan dengan prediksi hasil variasi, hasil spesifik, dan alternatif yang ada dalam membangun perkumpulan Senior GMKI Nasional ini dengan idealisme yang tinggi dalam selalu berpegang teguh pada prinsip nilai-nilai Alkitabiah.

PERAMPASAN KEDAULATAN DAN KEMANDIRIAN BANGSA


A.       Prolog
Fajar idsutrialisasi bersama dengan penerapan liberalisasi ekonomi telah menyebabkan transformasi yang mendasar menyangkut struktur dan nilai-nilai masyarakat tradisional (Gagasan ini bukanlah rekonstruksi histories, melainkan sebuah ikhtiar yang memfokuskan perhatian khusus masalah social) . Pada decade sekarang masalah social silih berganti yang kian hari kian mereduksi nilai-nilai universalime rakyat, sehingga rakyat menjadi budak pekerja dari korporasi multi national yang pada akhirnya depolitisasi menjadi bagian integral dari negara yang menghegemoni kesadaran dan jiwa rakyat dibawah panji totaliteralianisme kebijakan.

Banyak sekali kebijakan yang dikeluarkan oleh negara baik itu UU, Perpu, Permen, Inpres, Keppres dan sebagainya dalam hal menaggulangi berbagai problematika kenegaraan yang terjadi di masa pasca reformasi ini. Namun dari begitu banyak peraturan yang diteranpkan ternyata angka kemiskinan tidak juga menurun, malahan angka kemiskinan semakin meningkat, begitu juga dengan utang negara pada tahun ini adalah Rp. 1,015 Triliun untuk untang dalam negeri dan Rp 573 Triliun (63,54 Miliar Dollar AS) untuk utang luar negeri (Kompas, Opini, Pembangunan Tanpah Roh, Rabu, 07 Juli 2010).

Dalam nenerapkan sebuah sistem guna mencegah terjadi tindakan distorsi yang dilakukan oleh negara ternyat mengantarkan negara ini pada jurang sistem industrialisasi yang tanpa sengaja dapat memangsa pengrajin tradisional seperti: petani, pengrajin rotan, pengrajin tenun, pengrajin mebel, pengrajin besi, pengrajin kaligrafi dan sebagainya. Dengan diberlakukannya sistem liberalisasi dalam negara ini maka yang terjadi adalah urbanisasi (Urbanisasi yakni perpindahan penduduk yang sering dimotivasi oleh cita-cita memperbaiki taraf hidup tidak selalu membuahkan perbaikan sebagaimana dicitacitakan, justru yang terjadi adalah rakyat dijadikan tumbal dari kebijkan tersebut. Lihat Eddy Kristiyanto, dalam bukunya yang berjudul Sakramen Politik – Mempertanggungjawabkan Memoria, 2008).

Masalah yang paling krusial dari negara ini adalah masalah demokratisasi, dimana domekrasi dijadikan “tujuan” dari suatu kebijakan, justru demokrasi seharusnya menajdi “sarana” dari suatu kebijakan bukan menjadi tujuan, akibat dari hal tersebut maka yang terjadi adalah segregasi politik dan ekonomi. Tidak jauh berbeda dengan kondisi rusia yang kala itu masih di pimpin oleh Lenin, dimana nilai-nilai kebudayaan dibungkam dalam sebuah totalisme kebijakan sehingga yang terjadi adalah revolusi social (Masalah yang paling mengkwatirkan dari realisme social adalah kecenderungan menundukkan kegiatan dan pemikiran artistic dibawah politik. Lihat Ibe Karyanto, dalam bukunya yang berjudul Realisme Sosialis Georg Lukacs, 1997)

B.        Filsafat Realita Sosial Kebangsaan
Secara epistemologi istilah filsafat berasal dari bahasa yunani yaitu ”Filosofi” (philosophy) berasal dari kata Philos yang mengandung arti ”Cinta” dan ”Sophia” mengadung arti ”Kebijaksanaan” atau ”Pengetahuan” jadi filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan(Filsafat juga berarti mendambahkan pengetahuan atau dengan perkataan lain adalah bahwa orang yang berfilsafat mendambahkan pengetahuan yang sejati. Lihat Dwi Siswanto dalam bukunya yang berjudul Orientasi Pemikiran Filsafat Sosial, 2009) . Namaun realitas yang terjadi adalah cinta kebijaksanaan dipolitisir menjadi mencintai kebijaksaan(Menurut hemat penulis Mencintai kebijaksanaan adalah orang yang selalu rindu untuk dicintai melalui pencarian identitas baru (popularitas diri), berbeda dengan cinta kebijaksanaan yang menurut penulis adalah orang yang cinta akan kemanusiaan dengan melakukan hal-hal yang arif dan bijaksana (subjektif vs objektif, naturalisme vs relativisme, dan empirisme vs asumtifisme) . Jadi filsafat realitas sosial kebangsaan menurut penulis proses berpikir yang terstruktur dalam memberi bimbingan dan jawaban guna mengatasi masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang terjadi adalah usaha filosof untuk memberi bimbingan dan jawaban agar dapat mengatasi problem-problem sosial(Robert N. Beck dalam bukunya yang berjudul Perspectives in Social Philosophy, 19670) . Justru yang terjadi adalah depolitisasi struktural dengan menggunkan konsep aporia dan nonidentitas seperti yang dikatakan oleh Jacques Derrida(Aporia adalah struktur atau logika yang menunjukkan kelemahan atau kontradiksi dalam logika teks atau dengan perkataan lain Aporia ada dalam setiap teks filosofi akibat permainan diffirance yang terelakan. Sedangkan Nonidentitas merupakan kontradiksi yang inheren dalam setiap sintesis yang ingin menotalisasi perbedaan-perbedaan. Lihat Muhammad AL – Fayyadel dalam bukunya yang berjudul Derrida, 2006).

Dalam memahami filsafat realitas sosial kebangsaan maka yang perlu saya kekumakan disini adalah gambaran umum realitas sosial yang terjadi dalam negara ini seperti beras impor, gula impor, buah impor, mobil impor, motor impor, bajaj impor, air conditioner impor, computer impor, tv impor, handphone impor, pakayan impor, kain impor dan sebagainya, hampir-hampir semua barang yang ada di negara ini diimpor dari negara-negara asing. Begitu juga dengan Bank Swasta nasional seperti BCA, Danamon, BII, Bank Niaga, dan Bank Swasta lainnya sudah menjadi milik perusahaan asing (Wawan Tunggal Alam dalam bukunya yang berjudul Di Bawah Cengkeraman Asing – Membongkar akar persoalannya dan tawaran revolusi untuk menjadi tuan di negeri sendiri, 2009) . Sebagai contoh kita dapat melihat dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 111 Tahun 2007 yang memberikan peluang bagi asing untuk menguasai hingga 99% saham perbankan nasional(Kompas, Opini, Pembangunan Tanpah Roh, Rabu, 07 Juli 2010) . Disinilah letak permasalahan bangsa kita yang menurut hemat penulis adalah permainan konsep ”aporia” dan nonidentitas seperti apa yang dikatakan oleh Jacques Derrida (lihat Catatan kaki no 10 dalam tulisan ini)
a.  Aporia
Konsep aporia dan non identitas tersebut apabila dikaitkan dengan realitas sosial kebangsaan saat ini maka kita dapat melihat bahwa bangsa kita telah dijajah dalam berbagai sendi kehidupan, dimana penjajahan kolonialisme telah berubah wujud menjadi penjajahan neokolonialisme yang ditandai dengan pengeksplotasian kekayaan yang ada dinegara ini seperti:
1.     Aqua 74 % saham dikuasai oleh perusahaan danone, Carrefour, bahakan 75% saham dari Supermarket Alfa adalah milik Carrefour (milik Negara Perancis)
2.   Teh Sariwangi 100% saham milik Unilever, begitu juga Sabun Lux, Pepsodent, Sikat Gigi Pepsodent kesemuanya (milik Negara Inggris),
3.    Susu SGM Milik Sari Husada 82% saham dikuasai oleh Numico (milik Negara Belanda),
4.   Rokok Sampoerna 97% saham milik Philips Morris, dengan mengeluarkan dana sebesar Rp 45, 066 Triliun ungkap Martin King setelah dinobatkan menjadi Presdir yang baru (Kompas, 19 Mei, 2005) ., Circle K (milik Negra USA),
5.    Giant, Hypermarket, Milik Dairy Farm International (Malasya), bahkan Dairy Farm International ini adalah pemilik saham dari supermarket Hero,
6.    Semen Tiga Roda, bikinan Indo Cemen kini sudah milik Heidelberg (Jerman), yang menguasai sekitar 61,70% saham,
7.    Semen Gresik milik Cemex (Meksiko),
8.   Semen Cibinong 77,37% saham Milik Holchim (Swiss)( Lihat Majalah Swa, Juli, 2006)

Dari beberapa fakta tersebut diatas, maka yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memproteksi produk-produk hukum yang ketat dengan batas-batas kepemilikan saham perusahaan asing. Kegagalan pemerintah dalam memproteksi kepemilikan saham asing tersebut yaitu ketika pemerintah orde baru mengeluarkan UU PMA No 1 Th 1967, diikuti dengan Peraturan Pemerintah (PP) Tanggal, 09 Mei 1994. No 20 Th 1994 Tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Hal inilah yang menimbulkan terjadinya privatisasi BUMN. Kemudian pemerintah melakukan perubahan Peraturan Pemerintah (PP) No 20 Th 1994 dengan PP No 83 Tahun 2001 namun dalam perubahan PP No 20 tersebut pemerintah hanya merevisi satu pasal yakni pasal 9 ayat 4 PP No 20 Th 1994 tersebut dimana pasal 9 ayat 4 tersebut dihapus. Begitu juga dengan produk Undang-Undang (UU) lainnya seperti UU Migas, UU Pertambangan mineral dan batubara (Minerba), UU PMA, UU Desian Industri, serta berbagai kontrak karya pertambangan dan sebagainya.

Begitu banyak UU yang telah dikeluarkan oleh negara, namun proses segregasi dan distrosi semakin merajalela dalam praktek penyelenggaraan negara yang bebas dari praktek-praktek Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). Artinya banyak sekali produk UU yang dikeluarkan oleh pemerintah namun tidak ada satupun produk UU yang dapat menjerat para pelaku-pelaku koruptor dinegara ini sebagai comparative kita dapat melihat kasus-kasus korupsi besar yang terjadi di negara ini antara lain kasus korupsi ditubuh korps kepolisian, kasus sisminbakum, kasus penggelapan pajak, kasus BLBI, kasus Bank Century, dan sebagainya. Namun semua kasus ini tidak pernah dapat diselesaikan di meja hijau.

b. Nonidentitas
Saat ini negara indonesia telah mengalami krisis identitas, dimana bangsa ini tidak lagi menghargai bahasa ibu sebagai suatu keharusan yang mutlak, justru yang terjadi adalah negara selalu bereforia dengan menggunakan istilah-istilah weternisasi (keinggris-ingrisan). Padahal pada tahun 1959 dan tahun 1990-an pemerintah indonesia telah mengeluarkan peraturan yang melarang pemakaian bahasa inggris. Bagitu juga pada tahun 1990-an dengan tegas pemerintah kembali mengeluarkan peraturan terkait pemakaian bahasa inggris dalam pembuatan iklan, namun peraturan-peraturan tersebut terkesan mubasir untuk diejawantahakan. Hal ini sangat merisaukan kita semua karena negara-negara lain berusaha untuk mempertahankan bahasa ibu nya, malahan negara ini berbalik 180 derajat dalam mempertahankan basa ibu tersebut, justru kita lebih bangga menggunakan istilah-istilah inggris dalam percakapan kita sehari-hari (Sebagai contoh di Mall kita akan jumpai tulisan-tulisan westernisasi, Bandara, SPBU, Rumah Sakit, Kantor swasta, dan sebagainya.). Ironisnya lagi pemerintah dalam hal ini Depdiknas menetapkan syarat kelulusan ujian nasional berupa mampu menguasai matematika, bahasa inggris dan sebagainya.

Berbeda dengan negara lainnya seperti Jepang, China, Korea, Islandia, Rusia, Canada, Perancis dan sebagainya dimana mereka berusaha mempertahakan bahasa ibunya. Sampai-sampai semua perusahaan yang melakukan incestasi di negara mereka wajin memasang plang nama kantor dengan menggunakan bahasa negara tersebut. Justru hal ini terbalik dalam negara kita dimana perusahan-perusahan lokal ketika melakukan kontrak kerja sama selalu menuliskan kontraknya dalam bahasa inggris, padahal perusahan-perusahan tersebut adalah perusahan lokal. Ini sebagai bukti dimana kita lebih bangga menggunakan bahasa negara lain dari pada menggunakan bahasa negara kita. Apabila kita tidak menghargai bahasa negara kita sendiri, maka sama saja kita telah menyerahkan hak kewarganegaraan kita kepada negara-negara neokolonialisme (Menurut hemat penulis Neokolonialisme adalah penjajahan mentalitas ) . Inilah kesalahan vatal yang dilakukan oleh negara, dimana negara memberikan keleluasan kepada investor untuk berinvestasi yang seluas-liasnya dinegara ini sehingga tanpa tidak sadar kita telah tersubordinir dengan budaya snobisme.

C.        Negara, Penguasa, dan Kekerasan
Terbentuknya Negara bukanlah suatu proses yang singkat dan memerlukan proses yang sangat panjang, sehingga dalam membangun suatu tatanan masyarakat yang egalitarian kemungkinan besar timbulnya tindakan destruktif yang di lakukan oleh Negara karena memperebutkan asset ekonomi dari masyarakat, agar konflik dapat di kurangi maka di bentuklah suatu institusi yang di beri nama pemerintah.

Nagara terbentuk berdasarkan atas suatu perjanjian anggota masyarakat dan perjanjian masyarakat tersebut di serahkan kepada suatu penguasa pusat, perjanjian ini bukan di buat oleh warga Negara dan penguasa yang memerintah, tetapi merupakan kesepakatan yang timbul di antara warga Negara sendiri. Mereka bersama-sama bersepakat untuk mentaati suatu penguasa yang memerintah serta anggota masyarakat tunduk dan terikat kepada penguasa dan perjanjian tersebut.

Perjanjian tersebut merupakan cita-cita hukum yang menganut anggota masyarakat, oleh karena itu pemerintah membutuhkan hukum dan aparatusnya agar masyarakat dapat di tata sedemikian rupa sehingga cita-cita tersebut dapat di capai.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, Negara membangun institusi aparatur negara yang dapat membantu pemerintah dapat mewujudkan cita-cita bersama. Pemerintah memiliki wewenang dan kekuasaan untuk menjalankan hukum dan undang-undang. Hukum dan undang-undang tersebut dapat dijalankan dengan cara damai bahkan pemerintah dapat memaksakan kehendaknya karena telah memiliki alasan-alasan atau dasar pembenaran tindakan melalui teori pembenaran penguasa Negara yaitu:
1.     Pembenaran Negara dari perspektif ketuhanan. Teori tersebut beranggapan bahwa tindakan penguasa atau pemerintah selalu benar sebab penguasa adalah wakil Tuhan. Penguasa adalah titisan Tuhan sehingga tindakan penguasa selalu benar, serta masyarakat harus patuh kepada penguasa karena penguasa adalah petugas Tuhan yang suci, adil di dunia,
2.   Pembenaran Negara dari perspektif kekuatan. Teori tersebut beranggapan bahwa penguasa Negara memiliki alasan pembenaran karena penguasa Negara memiliki kekuatan jasmani, yaitu apparatus Negara, angkatan bersenjata, institusi kekuatan rohani, ideologi, dan kekuatan materi, ekonomi dan sumber daya manusia,
3.    Pembenaran Negara dari perspektif hukum. Teori tersebut beranggapan bahwa penguasa Negara akan selalu benar karena penguasa Negara bertindak berdasarkan hukum, dan masyarkat harus taat kepada Negara karena menjalankan hukum yang merupakan hasil perjanjian.

Berdasarkan dengan ketiga alasan tersebut di ataas maka Negara dalam menjalankan fungsinya akan selalu mendapat alasan pembenaran dari berbagai macam perspektif. Legitimasi tersebut sangat kukuh untuk menghadapi “pembangkangan” warga Negara.

Legitimasi vertikal kekuasaan bersumber dari Tuhan maupun legitimasi berdasarkan kekuatan, merupakan sumber-sumber pembenaran yang di pakai oleh penguasa abad silam, yang dimana ideologi komunis tidak di berlakukan sesuai dengan Tap MPRS/XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, akan tetapi bagi penguasa modern sekarang ini yang lebih dominan adalah alasan penguasa hukum, dan melalui hukum pemerintah dapat bertindak serta memaksa kehendaknya agar tujuan Negara tercapai. Walaupun demikian, berdasarkan sejarah, tindakan yang di lakukan oleh penguasa tidak selalu benar seperti kasus depolitisasi G.30.S. pada tahun 1965. Sebenarnya kasus G.30 S. tersebut adalah sebuah kamuflase konspirasi politik yang dimainkan oleh USA (Caltex adalah perusahaan perusahaan patungan Standar Oil of California dengan Texaco (Texas Company). Texaco ini pernah di pimpin oleh Agustus C. Long. Pada tahun 1965 Augustus C. Long terpilih menjadi Chemical Bank salah satu perusahaan dibawah Rockefeller, dan pada tahun ini juga Long diangkat menjadi anggota dewan penasihat intelejen USA untuk urusan luar negeri pada pada masa presiden Jhonson. Badan inilah yang sangat berpengaruh dalam menyetujui atau menyarankan operasi rahasia di negara-negara tertentu, termasuk operasi rahasia yang menamatkan kekuasaan Presiden Soekarno dengan meletusnya insiden G.30.S.) guna mendapatkan kekayaan alam yang ada di indonesia dan negara berkembang lainnya.

Negara merupakan representasi dari seluruh unsur yang membentuknya, sedangkan pemerintah cenderung merupakan sekelompok elit penguasa yang dalam banyak kasus ternyata memiliki agenda dan kepentingan sendiri. Penguasa suatu Negara di dalam usahanya untuk mencapai puncak kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan akan menggunakan apparatus dan hukum di dalam Negara tersebut. Hal seperti ini terjadi terutama di Negara-negara berkembang. Dalam hal ini kebenaran yang di klaim oleh puncak kekuasaan harus di perjuangkan dengan cara menyingkirkan kelompok-kelompok lain yang juga ingin mencapai puncak kekuasaan.

Cara mencapai puncak kekuasaan tersebut dapat di lakukan dengan cara diplomasi, bahkan cara kekerasan. Kekerasan dapat di lakukan dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk fisik maupun non fisik. Kekerasan fisik bisa berupa pemukulan, penembakan dan lain-lainnya sedangkan kekerasan berupa non fisik, dapat berupa indoktrinasi dan manipulasi.

D.       Membangun Interaksi Politik Pemerintah Dengan Rakyat
Pemerintahan atau “Government” dalam bahasa inggris di artikan sebagai “The authoritative direction and administration of the affairs of men/women in a nation state, city, etc.” dan dalam bahasa Indonesia di artikan sebagai “pengarahan dan administrasi yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam sebuah negara, Negara bagian, kota dan sebagainya.” Sedangkan istilah “kepemerintahan” atau “Governance” yang berarti “tindakan, fakta, pola, dari kegiatan atau penyelenggaraan pemerintahan”.

Dengan demikian “governance” adalah suatu kegiatan atau proses sebagai mana yang diungkapkan oleh Kooiman (eds,1993) bahwa governance lebih merupakan serangkaian proses interaksi social politik antara pemerintah dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut.

Istilah “governance“, tidak hanya berarti kepemerintahan sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan, pembinaan, penyelenggaraan dan bisa juga di artikan pemerintahan. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila terdapat istilah public governance, private governance, corporate governance dan banking governance. Governance sebagai terjemahan dari pemerintahan kemudian di kembangkan dan menjadi populer dengan sebutan kepemerintahan yang baik (good governance).

Kooiman (1993:258) memandang governance sebagai sebuah struktur yang muncul dalam sistem sosial politik sebagai hasil dari tindakan intervensi interaksi di antara berbagai aktor yang terlibat. Sesuai dengan karakteristik interaksi antara pemerintah dan masyarakat yang cenderung bersifat plural, maka konsepsi governance tersebut tidak hanya dapat di batasi dalam suatu unsur pelaku atau kelompok pelaku tertentu.

Sebagaimana yang di katakan oleh Marin dan Mayntz (eds 1991) bahwa kepemerintahan politik dalam masyarakat modern tidak bisa lagi di pandang sebagai pengendalian pemerintah terhadap masyarakat, tetapi muncul dari pluralitas pelaku penyelenggaraan pemerintah.

United Nations Development Program (UNDP) dalam dokumen kebijakannya yang berjudul “Governance for Sustainable Human Development, Januari 1997” mendefinisikan kepemerintahan (governance) sebagai berikut: “Governance is the exercise of economic, political, and administrative authority to manage a country’s affairs at all levels and the means by which states promote social cohesion, and ensure the well-being of their population” (“ Kepemerintahan adalah pelaksanaan kewenangan atau kekuasaan di bidang ekonomi, politik, dan administrasi untuk mengelola berbagai urusan Negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrumen kebijakan Negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan, integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat.”) Berdasarkan dengan pengertian tersebut di atas UNDP mengindikasikan adanya tiga model kepemerintahan yaitu”
1.     Model Kepemerintahan Ekonomi (Economic Governance Model)), yang meliputi proses pembuatan keputusan (decision making processes) yang memfasilitasi kegiatan ekonomi di dalam negeri dan interaksi di antara penyelenggara ekonomi. Economic governance mempunyai implikasi terhadap kesetaraan, kemiskinan dan kualitas hidup;
2.   Model Kepemerintahan Politik (Political Governance Model), yang mencakup proses-proses pembuatan berbagai keputusan untuk perumusan kebijakan;
3.    Model Kepemerintahan Administrasi (Administrative Governance Model) yaitu sistem implementasi kebijakan.

Oleh karena itu kelembagaan dalam governance meliputi tiga domain, yaitu Negara (state), sektor swasta (private sector) dan masyarakat (society) (Negara berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif termasuk di dalamnya lembaga-lembaga politik maupun lembaga sektor publik, sektor swasta berfungsi menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan masyarakat memfasilitasi interaksi sosial dan politik, menggerakan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan ekonomi, sosial dan politik.) yang saling berinteraksi dalam menjalankan fungsinya masing-masing.

Dalam kaitan dengan masyarakat Hubbard (2001) mengatakan “governance is more than government”. Kemudian istilah “governance” di definisikan sebagai “how societies steer them selve” (“bagaimana masyarakat mengatur dirinya sendiri.”). sedangkan Bank Dunia (World Bank) sebagaiman dikutip oleh Bintoro Tjokromidjojo (2000 : 34) merumuskan konsep governance sebagai “the exercise of political powers to manage a nation’s affairs” (pelaksanaan kekuasaan politik untuk memanage masalah-masalah suatu Negara).

Dengan berbgai konsep mengenai kepemerintahan tersebut di atas pada dasarnya hampir sama yaitu mengenai bagaimana pemerintah berinteraksi dengan masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik dalam upaya pemenuhan kepentingan-kepentingan masyarakat.

E.        Penutup
a.    Simpulan
Pemerintah selalu mencari pembenaran dengan sebuah produk undang-undang, padahal produk undang-undang tersebut merupakan manifestasi dari ”kehendak untuk berkuasa”. Dalam artian bahwa pengkoordinasian program pemerintah yang dijalankan saat ini sangat buruk sehingga berdampak pada pengreduksian konsensus ekonomi dan konsensus politik, dimana jurang antara masyarakat yang kaya dan miskin semakin lebar. Apalagi rezim SBY dan Budiono tidak pernah berupaya untuk memajukan perekonomian bangsa, bukti kita dapat melihat dari utang negara yang begitu besar serta kasus korupsi yang tidak pernah tidak pernah terselesaikan dengan menyeret pelaku-pelaku tindak pidana tpikor tersebut ke meja pengadilan.

b.  Saran
Dengan melihat dan mencermati keseluruhan tulisan siingkat ini maka hal yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah:
1.     Meproteksi peraturan-peraturan yang dapat menimbulkan perekonomian negara ini lumpuh.
2.   Perlu ada perubahan paradigma dan perilaku dari pemerintah dan birokrat dalam membangun negara yang egaliterian.
3.    Negara harus mampu menciptakan konsensu ekonomi dan konsensus politik dalam segala aras kehidupan berbangsa dan bernegara.
4.   Negara harus dapat mengusut dan menyelasaikan kasus kekerasan pelanggaran HAM yang terjadi.
5.    Negara harus tegas dalam melakukan pembaratasan korupsi di negara ini tanpa memandang predikat.

Untuk itu kita jangan mudah goyah terhadap setiap persoalan yang terjadi dalam realita kebangsaan ini, tetapi kita harus berdiri teguh sembari menyusun panji-panji kekuatan untuk merebut kembali negara ini, dari para hantu-hantu penghisap darah rakyat.

Salah satu strategi untuk kita dapat mengambil kembali cita-cita negara indonesia sesuai dengan spirit egelitarian dan gotongroyong adalah kita boleh tidak larut dalam ’’budaya konsumisme hedonistik’’. Jadi kalau kita bersedia ikut membangun Indonesia yang adil dan solider, yang demokratis dan tetap menghargai pluralitas, perjuangan kita akan berhasil.

Seperti apa yang dipidatokan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 yang berbunyi: ”Hai, hati-hati saudara! Semua ini tergantung pada manusianya.” bila sistem jelek tetapi manusianya baik, maka si manusia akan memperbaiki sistem, tetapi bila sistemnya bagus, tetapi mental manusia jelek, maka si manusia akan merubah sistem untuk kepentingan sendiri.

Demikan seberkas pemikiran dan harapan yang dapat saya sampaikan dalam forum diskursus yang mulia ini.

Teriring Salam Doa Agung Tuhan Yesus Kristus.
Tinggi Iman
Tinggi Ilmu
Tinggi Pengabdian

“Ut Omnes Unum Sint”