WELCOME

” Blogger ini bukan merupakan forum penghakiman ataupun penuduhan. tetapi merupakan kesempatan proses pembelajaran strategis untuk mengasah dan membangun nalar yang konstruktif/kristis, kemampuan konseosi dan taktik belajar yang efektif

Selasa, 19 Oktober 2010

Belajar Mendengarkan: (Yesaya 42:18-25)


Dengarkanlah, hai orang-orang tuli pandanglah dan lihatlah, hai orang-orang buta! Siapakah yang buta selain dari hamba-Ku, dan yang tuli seperti utusan yang Kusuruh? Siapakah yang buta seperti suruhan-Ku dan  yang tuli seperti hamba  TUHAN?. Engkau melihat banyak, tetapi tidak tidak memperhatikan, enkau memasang telinga, tetapi tidak mendengar. TUHAN telah berkenan demi penyelamatan-Nya untuk memberi pengajaran-Nya yang besar dan mulia; namun mereka suatu bangsa yang dijarah dan dirampok, mereka semua terjebak dalam geronggang-geronggang dan disembunyikan dalam rumah-rumah penjara; mereka telah menjadi jarahan dan tidak ada yang melepaskan, menjadi rampasan dan tidak ada yang berkata: ”Kembalikanlah!”. Siapakah di antara kamu yang mau memasang telinga kepada hal ini, yang mau memperhatikan  dan mendengarkannya untuk masa yang kemudian?. Siapakah yang  menyerahkan Yakub untuk dirampas, dan Israel kepada penjarah? Bukankah itu TUHAN? Sebab kepada-Nya  kita telah berdosa, dan orang tidak mau mengikuti jalan yang telah ditunjuk-Nya, dan kepada pengajaran-Nya orang tidak mau mendengar. Maka Ia telah menumpahkan kepadanya kepanasan amarah-Nya, dan peperangan yang hebat, yang menghanguskan dia dari sekeliling, tetapi ia tidak menginsafinya, dan yang membakar dia, tetapi ia tidak memperhatikannya.

Euphoria kebebasan yang dialami masyarakat indoensia sejak awal reformasi telah melahirkan hiruk-pikuk tuntutan hak, tuntutan perubahan, perdebadan politik, teriak kelaparan, tuntutan pemberantasan KKN, dan sebagainya. Akibatnya suasana yang terjadi seperti dikatakan Pdt. Eka Darma Putera dalam sebuah renungannya, “orang-orang hanya mampu berteriak sekeras mungkin, tetapi tidak mendengar sebaik mungkin. Sehingga yang terjadi adalah laksana perdebatan dua orang tuli”, yang tentunya sia,sia, tidak ada artinya..

Mampu mendengarkan adalah sesuatu yang sulit, lebih mudah untuk berbicara dan berteriak tentang kepentingan diri sendiri. Padahal Tuhan menciptakan dua telinga dan satu mulut, bukan sebaliknya. Maka seharusnya kita lebih banyak mendengar dari pada bicara. Apa dan siapa yang harus mendengarkan? Bangsa Israel yang telah begitu terikat oleh dosa disebut Yesaya sebagai orang tuli dan buta (ay 18), sebab mereka sebagai umat Tuhan sejak masa Keluaran hingga pemerintahan Daud, telah melihat dan mendengar banyak tentang perbuatan Tuhan serta apa yang Tuhan inginkan dari mereka sebagai umat-Nya. Namun nyatanya banyak firman Tuhan, dan peristiwa sejarah yang jadi tanda-tanda zaman memperingatkan mereka, tidak diindahkan (ay 20). Bangsa Israel tetap lebih memilih dosa dan pembertontakan terhadap Allah daripada mendengarkan-Nya dan melakukan tugas pengutusan sebagai umat Tuhan. Akibatnya Allah menghukum mereka, membiarkan mereka menjadi oarng buangan di tanah Babel (ay 24-25).

Sama seperti bangsa Israel, kita orang Kristen pun sering buta dan tuli terhadap kehendak Tuhan dan panggilan-Nya, yang disuarakan melalui pergumulan, penderitaan, kesakitan dan perjuangan hidup disekeliling kita. Suara Tuhan hadir memanggil keterlibatan kita, dalam diri orang-orang yang menjerit kelaparan, di-PHK, dicurigai, digusur, ditipu oleh para pemilik kuasa, serta dalam diri lingkungan alam yang telah ruak repolusi-terekspolitasi oleh kerusakan manusia. Kita selalu melihat mereka tiap hari, bahkan kita adalah bagian dari semua itu, namun kita sering tidak peka menangkap kehadiran Tuhan dalam semua itu. Kita tidak tergerak melakukan sesuatu untuk mereka.

Hal yang paling banyak penyita pikiran, perhatian dan energi kita adalah kepentingan kita egosentris. Vested interest kita di bidang karir, materi, politik, jabatan, dan sebagainya merupakan penggerak utama seluruh pekerjaan dan upaya-upaya yang kita lakukan. Sangat jarang kita melakukan sesuati tanpa pamrih (dalam arti kepentingan diri). Biasanya kita cenderung egois, merasa bahwa diri sendirilah yang paling berhak (kalau bukan satu-satunya) untuk didengarkan, untuk di mengerti orang lain. Mendengar orang lain menjadi sekedar to hear dan sedang menunggu kesempatan untuk bicara. Ada perbedaan penting mendasar antara mendengar (to hear) dan mendengarkan (to listen). Sekedar mendengar mobil lewat, musik di radio, suara penjaja Koran, tanpa memberi perhatian pada suara-suara itu adalah to hear. Sedangkan mendengar yang benar dan kreataif adalah to listen, yakni mendengarkan dengan empati, menempatkan pihak yang kita dengar sebagai subyek yang patut dihargai, diperhatikan, diutamakan, ditopang dan diberdayakan.

Maka, jika reformasi kita ingi berjalan dengan benar, yang paling perlu ditingkatkan saat ini adalah kemampuan mendengarkan dalam arti to listen. Dengan saling mendengarkan baik-baik, kita dengan sleuruh komponen masyarakat lain dapat bedialog dangen sehat, memahami persoalan dengan jernih, sehinga dapat bersama-sama memikirkan, mencari dan merumuskan aksi bersama memperbaiki keadaan.
Mampu mendengarkan dalam arti to listen adalah sesuatu yang harus dipelajari dan dilatih karena kita sudah terlanjur terbiasa lebih senang mendengar diri snediri, kita perlu mendengarkan baik-baik apa pendapat orang lain, melihat suatu masalah dari sudut pandangan orang lain, sehingga pemahaman kita jadi kaya. Bila kita bersedia mendiamkan suara-suara kepentingan pribadi dan cinta kita, maka akan mampu menyadari, menemukan, melihat dan mendengarkan kepentingan, kebutuhan dan kesusahan orang lain, terutama dari orang-orang yang paling menderita. Dan yang terpenting, Allah hadir dan berpihak pada mereka (baca Mat 25:40).

Maka, ketika kita aktif dan sibuk melakukan perjuangan, pertarungan dalam hidup, baik dalam bidang  pendidikan, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya,kita harus tetap menjaga agar jangan sampai semua itu menjadi sesuatu yang bediri sendiri, menjadi bangunan menara gading egosentris yang tidak bersangkut-paut sama sekali dengan keprihatinan Allah didunia, yakni membebaskan orang-orang dari segala bantuk ketiakbebasan dalam arti luas menyeluruh, yakni mental-spritual-material.

Bahan Diskusi
  1. Sepanjang pengamatan Anda, dalam era reformasi ini apakah contoh-contoh perdebatan orang-orang tuli yang terjadi, baik dilingkungan mahasiswa, masyarakat, paraa pemimpin masyarakat, politisi, dan sebagainya. Apakah hal tersebut berguna dan menguntungkan bagi rakyat?
  2. Bagaimana caranya mendengarkan suara Allah dalam lingkungan kehidupan kita sehari-hari? Di mana anda menemukan dan mendengarkannya dalam hidup konkert ana? Bagaimana caranya Anda memastikan bahwa itu adalah suara Allah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar