WELCOME

” Blogger ini bukan merupakan forum penghakiman ataupun penuduhan. tetapi merupakan kesempatan proses pembelajaran strategis untuk mengasah dan membangun nalar yang konstruktif/kristis, kemampuan konseosi dan taktik belajar yang efektif

Selasa, 19 Oktober 2010

Hubungan Agama Dan Negara: (Lukas 20: 20-26)


Ahli-ahli Taurat dan imam-imam kepala mengamat-amati Yesus.Mereka menyuruh kepada-Nya mata-mata yang berlaku seolah-olah orang jujur, supaya mereka dapat menjerat-Nya dengan suatu pertanyaan dan menyerahkan-Nya kepada wewenang dan kuasa wali negeri. Orang-orang itu mengajukan pertanyaan ini kepada-Nya : ” Guru, kami tahu, bahwa segala perkataan dan pengajaran-Mu benar dan Engkau tidak mncari muka, melainkan dengan jujur mengajar jalan Allah. Apakah kami diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” Tetapi Yesus mengetahui maksud mereka yang licik itu, lalu berkata kepada mereka: ” Tunjukkanlah kepada-Ku suatu dinar; gambar dan tulisan siapakah  ada padanya?” Jawab mereka : ” Gambar dan tulisan Kaisar.” Lalu kata Yesus kepada mereka : ”Kalau begitu berikanlah  kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang  wajib kamu berikan kepada Allah!” Dan mereka tidak dapat  menjerat Dia dalam perkataan-Nya di depan orang banyak. Mereka heran akan jawab-Nya itu dan mereka diam.

Topik ini bukan lagi hal baru, namun tetap hangat diperbincangkan.  Terlebih pada saat-saat Pemilu 2009, sekarang ini. Dengan sistim multi-partai dan banyaknya ikatan-ikatan primordial dan simbol-simbol keagamaan yang digunakan, mengharuskan umat Kristen untuk menyikapinya dengan bijak. Sikap konvensional yang selama ini dirumuskan di bidang politik adalah bahwa gereja memiliki tugas politik, tetapi tidak terlibat dalam politik praktis. Namun begitu, gereja dalam kenyataannya acap mudah terseret ke dalam permainan politik. Demikian juga sikap tentang hubungan antara agama (baca: gereja) dengan negara, masih terdapat ragam pemahaman, seperti: terpisah, bermusuhan, atau koordinasi. Maka ada baiknya masalah ini terus-menerus didalami dengan menafsir ulang Alkitab sesuai dengan konteks zaman ini. Selama ini, salah satu nas Alkitab yang sering digunakan dasar menanggapi masalah ini adalah ucapan Yesus dalam Lukas 20:25, di samping Roma 13; 1 Petrus 3; dan Wahyu 13. Dalam PA kali ini, kita akan berusaha untuk membahas masalah hubungan agama dengan negara berdasarkan Lukas 20: 20-26.

“Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Luk.20:25). Orang-orang Yahudi enggan membayar pajak kepada penguasa Romawi. Sebab itu merupakan tanda bangsa taklukan atau jajahan. Lebih daripada itu, masalah itu juga berhubungan dengan masalah iman. Dinar yang diminta Yesus itu adalah lambang kekuasaan Romawi. Pada sisi muka terlihat gambar Kaisar Tiberius, sedangkan pada sisi belakang tergambar ibunda kaisar yang duduk di atas takhta ilahi sebagai inkarnasi dari Damai Sorgawi. Yang sangat menyinggung iman orang-orang Yahudi ialah tulisan pinggir yang ada pada mata uang itu yang menyatakan bahwa Kaisar itu adalah Tuhan dan Imam Agung. Bunyi tulisan itu adalah Tiberius Caesar Divi Auguati Fillius Augustus, artinya: Tiberius Kaisar, Putera Agustus yang Ilahi. Tulisan dipinggir belakang, yang merupakan lanjutan gelar Kaisar, berbunyi: Pontifex Maximus, artinya: Imam Tertinggi.

Jadi makna cerita mengenai mata uang itu terletak dalam  nisbah antara Kaisar dan Allah. Ada beberapa penafsiran berbeda tentang jawaban Yesus itu. Pertama adalah pendapat yang membagi kehidupan atas dua bidang yang berbeda, yaitu: takhta Kaisar dan Mezbah Allah, yang sama nilainya namun terpisah satu dari yang lain. Dengan demikian menurut pendapat ini, jawaban Yesus itu berarti bahwa manusia disuruh tunduk, baik kepada Kaisar maupun kepada Allah. Kedua adalah pendapat yang mengatakan bahwa manusia dituntut taat seratus persen kepada apa saja yang diperintahkan oleh penguasa-penguasa. Lord Acton, sejarawan terkenal, berpendapat perkataan Yesus ini merupakan penolakan terhadap absolutisme pada satu pihak dan perayaan kebebasan pada pihak lain.

Kedua pendapat ini tidak tepat. Sebab tidak mungkin kedua bidang kehidupan dipisahkan, seolah-olah Kaisar berkuasa mutlak di bidangnya. Juga, Yesus tidak menuntut ketaatan yang membabi buta terhadap penguasa. Jelas, Yesus juga tidak bermaksud menyetarakan antara kuasa Kaisar dan kuasa Allah. Tetapi karena si Kaisarlah yang membuat dan yang empunya mata uang itu, maka ia berhak menagih pajak. Kebaikan yang diberikan negara, menuntut tanggungjawab. Lepas dari penilaian masyarakat Yahudi terhadap kekaisaran Romawi, tetapi sejarah telah mencatat bahwa secara umum kekaisaran telah membawa kedamaian ke dalam dunia yang bermasalah. Di bawah kekuasaannya, wilayah-wilayah Asia Kecil dan dunia Timur menikmati keamanan dan ketenangan yang berlangsung lama, yang disebut dengan pax romana. Akan tetapi kepada Allah harus diberikan apa yang wajib diberikan kepadaNya. Memang, disini Yesus tidak mengatakan apa itu yang wajib kepada Allah, namun jelas, sehubungan dengan pemberitaan Yesus bahwa yang harus diberikan kepada Allah bukan hanya harta, tetapi totalitas hidup manusia sendiri. Jika pada dinar ada gambar kaisar, maka pada manusia ada gambar Allah, dan karena itu manusia adalah milik Allah, termasuk kaisar. Maka jika suatu keadaan terjadi konflik tuntutan, maka kesetiaan kepada Allah haruslah lebih didahulukan dan diutamakan. Kekristenan seseorang seharusnya menjadikan dirinya seorang warga negara yang lebih baik dibanding dengan orang lain.

Dari ajaran ini ada kesan bahwa seolah ada pemisahan: yang dari Kaisar ke Kaisar; yang dari Allah ke Allah. Tetapi bukan itu yang dimaksudkan. Melainkan, bahwa berdasarkan jawaban Yesus ini, gereja memahami dirinya sebagai warga negara rangkap, yaitu sebagai warga sebuah negara secara politis dan sekaligus sebagai warga Kerajaan/pemerintahan Allah. Pemahaman tersebut tidak dualistis dan tidak menyebabkan ketaatan/kesetiaan ganda, sebab ketaatan/kesetiaan kepada Allah menjadi dasar ketaatan/kesetiaan kepada negara. Hanya kepada Allah kita berbakti, tetapi sementara kita sujud menyembah di hadapan Tuhan, kita boleh dan wajib menyatakan ketaatan/kesetiaan kapada negara di mana kita menjadi warga negara. Alasan pokoknya adalah oleh karena negara, khususnya pemerintah, difahami pula sebagai pemberian dari Tuhan untuk kebaikan manusia (Rom.13:1,4).

Sepanjang sejarah gereja, terdapat beberapa sikap yang menggambarkan hubungan agama (baca: gereja) dengan negara. Pada periode-periode awal, di mana gereja belum berbetuk lembaga atau institusi keagamaan, maka hubungannya dengan negara belum jelas. Dunia, termasuk negara dan pemerintahannya, dipandang sebagai sesuatu yang akan segera binasa oleh Kerajaan/pemerintahan Allah yang akan segera datang (parousia). Para pembela agama waktu itu mengusulkan pemisahan ketat dan ko-eksistensi bersama. Persis mengikuti pesan Rom.13 dan 1 Ptr.3, mereka menolak penyembahan Kaisar tetapi mereka diharapkan menaati hukum dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik.

Pada abad pertengahan, terdapat dua pandangan. Pertama: pandangan tentang dua pedang (two swords), yaitu adanya dua kekuasaan yang masing-masing mandiri (Paus Gelcius I). Menurutnya, gereja dan negara memiliki tingkat kekuasaan yang sama tetapi memiliki keunggulan masing-masing. Misalnya, gereja lebih unggul dalam kehormatan, sedangkan negara lebih unggul dalam kekuatan fisik. Kedua: padangan tentang hukum kodrati (natural law). Menurut pandangan ini, semua manusia baik penguasa maupun rakyat sama-sama diperintah dan diawasi oleh satu kerangka, yaitu hukum kodrati yang diciptakan dan diatur oleh Allah. Tidak ada kekuasaan yang mutlak karena semua kekuasaan dibatasi untuk hanya mencari kebaikan menurut hukum kodrati (Thomas Aquinas). Di sini, gereja dan negara, Paus dan Kaisar, sama-sama tunduk kepada hukum kodrati yang bersumber dari kuasa Allah. Dalam pandangan ini, terdapat adanya paradigma pemisahan sekaligus interaksi/kordinasi antara kekuasaan gereja dan negara.

Pada masa pencerahan/reformasi (abad xv-xviii), kembali lagi pada pemisahan antara gereja dan negara. Gereja Katolik memahami peran gereja dalam dunia berhubungan dengan hal-hal rohani dan moral, sedangkan tugas negara mengurus kehidupan bernegara dan politik. Luther dan Calvin menghilangkan kekuasaan gereja di dalam negara, walaupun masih tetap mempertahakan hubungan asimilasi. Dengan dmeikian, negara dan gereja mempunyai tugasnya masing-masing. Walau begitu, bagi Luther, gereja membutuhkan perlindungan negara agar tetap bisa hidup. Calvin, meski lebih berpendirian teokratis, tetapi juga masih membela perlunya ketaatan kepada pemerintah, tetapi gereja harus menolak perintah-perintah yang bertentangan dengan Alkitab. Intinya, Luther dan Calvin, membela bahwa gereja dan negara harus taat pada friman Allah.

Pada abad modern (abad xix-xxi), faham demokrasi dan kebebasan menguat. Maka konsep-konsep PB tentang hubungan gereja dan Negara tidak bisa diterapkan begitu saja, melainkan harus ditafsir ulang, karena konteks dan situasi yang sangat berbeda.  Paham mengenai kehadiran gereja dalam dunia, termasuk di setiap Negara memperlihatkan adanya dua pandangan utama, yaitu: paradigma transformasi, dianut oleh Katolik, Lutheran, Calvinis dan metodis. Sedangkana pandangan kedua, yaitu: pemisahan ketat, dianut oleh Mennonite, Baptis dan Pentakosta. Lalu, posisi yang diambil negara ketika berhadapan dengan gereja, ditentukan oleh kepentingan politiknya, juga ditentukan oleh peran gereja dan kelompok agama lainnya dalam masyarakat.

Bagi kita di Indonesia, hubungan gereja dan negara itu juga ditentukan oleh konteks sejarah. Pada masa Hindia Belanda,  terjadi sub-ordinasi negara terhadap gereja. Gereja diperalat untuk kepentingan keuntungan kekuasaan, ekonomi VOC dan pemerintahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah cenderung mengintervensi kehidupan beragama, khususnya pada masa Orba. Intervensi itu misalnya adalah pelarangan aliran tertentu, pengaturan pendirian rumah ibadah, palaksanaan misi atau dakwah, dll.

Sejak 1984 PGI dengan tegas menyatakan hubungannya dengan pemerintah dan negara sebagai mitra, terutama keikutsertaan gereja dalam pembangunan secara positif, kreatif, kritis, dan realistis dalam terang Injil Yesus Kristus. Namun di pihak lain, pemerintah RI sendiri, dari waktu ke waktu, selalu berusaha mengatur kehidupan gereja atau agama secara keseluruhan, antara lain tampak dalam beberapa produk UU yang dipandang mencampuri urusan umat beragama, bahkan melanggar HAM di bidang keagamaan.

Dengan demikian kita boleh menjadi sesuatu dalam negara ini, yang bukan hanya ikut saja, tetapi juga memberi warna tersendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  Maka, kalau boleh kita jadikan semua ini menjadi tuntunan. Agama dan negara tetap mempunyai hubungan dan hubungan itu koordinatif. Agama dan negara disubordinasikan kepada satu otoritas yang sama yaitu otoritas hukum. Tipe hubungan koordinatif agak sama dengan tipe interaksi dan sejalan dengan pemikiran reformasi mengenai separasi secara terbatas sekaligus koperasi. R.P.Borrong mengusulkan hubungan semi-terpisah atau disebut juga seperasi berimbang, supaya di satu pihak ada jarak yang jelas, tetapi di pihak lain ada unsur kemitraan atau kooperatif dan kordinatif dalam menjalin hubungan yang serasi dan harmonis.

Bahan Diskusi:
  1. Sebagai negara yang multi etnik dan agama, gagasan apa yang dapat kita sodorkan dalam membina hubungan yang baik dan harmonis atara agama dan negara ke depan?
  2. Menurut Saudara, perlukan fungsi –fungsi kontrol sosial dilakukan oleh lembaga-lembaga keumatan agama terhadap Agama?
  3. Apakah sehrusnya yang negara lakukan terhadap semangat-semangat sektarianisme yang sering menekan situasi nasional melalui tuntutan politis sesuai sudut pandang etis,moral dan Iman kristen?
  4. Apa pendapat Saudara Apabila ada calon Presiden dan wapres yang tidak bisa membedakan antara Agama dan Negara?
  5. Menurut pendapat saudara ada tidak hubungan negara dengan Agama atau tidak berikan Argument Saudara?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar