WELCOME

” Blogger ini bukan merupakan forum penghakiman ataupun penuduhan. tetapi merupakan kesempatan proses pembelajaran strategis untuk mengasah dan membangun nalar yang konstruktif/kristis, kemampuan konseosi dan taktik belajar yang efektif

Kamis, 21 Oktober 2010

PERAMPASAN KEDAULATAN DAN KEMANDIRIAN BANGSA


A.       Prolog
Fajar idsutrialisasi bersama dengan penerapan liberalisasi ekonomi telah menyebabkan transformasi yang mendasar menyangkut struktur dan nilai-nilai masyarakat tradisional (Gagasan ini bukanlah rekonstruksi histories, melainkan sebuah ikhtiar yang memfokuskan perhatian khusus masalah social) . Pada decade sekarang masalah social silih berganti yang kian hari kian mereduksi nilai-nilai universalime rakyat, sehingga rakyat menjadi budak pekerja dari korporasi multi national yang pada akhirnya depolitisasi menjadi bagian integral dari negara yang menghegemoni kesadaran dan jiwa rakyat dibawah panji totaliteralianisme kebijakan.

Banyak sekali kebijakan yang dikeluarkan oleh negara baik itu UU, Perpu, Permen, Inpres, Keppres dan sebagainya dalam hal menaggulangi berbagai problematika kenegaraan yang terjadi di masa pasca reformasi ini. Namun dari begitu banyak peraturan yang diteranpkan ternyata angka kemiskinan tidak juga menurun, malahan angka kemiskinan semakin meningkat, begitu juga dengan utang negara pada tahun ini adalah Rp. 1,015 Triliun untuk untang dalam negeri dan Rp 573 Triliun (63,54 Miliar Dollar AS) untuk utang luar negeri (Kompas, Opini, Pembangunan Tanpah Roh, Rabu, 07 Juli 2010).

Dalam nenerapkan sebuah sistem guna mencegah terjadi tindakan distorsi yang dilakukan oleh negara ternyat mengantarkan negara ini pada jurang sistem industrialisasi yang tanpa sengaja dapat memangsa pengrajin tradisional seperti: petani, pengrajin rotan, pengrajin tenun, pengrajin mebel, pengrajin besi, pengrajin kaligrafi dan sebagainya. Dengan diberlakukannya sistem liberalisasi dalam negara ini maka yang terjadi adalah urbanisasi (Urbanisasi yakni perpindahan penduduk yang sering dimotivasi oleh cita-cita memperbaiki taraf hidup tidak selalu membuahkan perbaikan sebagaimana dicitacitakan, justru yang terjadi adalah rakyat dijadikan tumbal dari kebijkan tersebut. Lihat Eddy Kristiyanto, dalam bukunya yang berjudul Sakramen Politik – Mempertanggungjawabkan Memoria, 2008).

Masalah yang paling krusial dari negara ini adalah masalah demokratisasi, dimana domekrasi dijadikan “tujuan” dari suatu kebijakan, justru demokrasi seharusnya menajdi “sarana” dari suatu kebijakan bukan menjadi tujuan, akibat dari hal tersebut maka yang terjadi adalah segregasi politik dan ekonomi. Tidak jauh berbeda dengan kondisi rusia yang kala itu masih di pimpin oleh Lenin, dimana nilai-nilai kebudayaan dibungkam dalam sebuah totalisme kebijakan sehingga yang terjadi adalah revolusi social (Masalah yang paling mengkwatirkan dari realisme social adalah kecenderungan menundukkan kegiatan dan pemikiran artistic dibawah politik. Lihat Ibe Karyanto, dalam bukunya yang berjudul Realisme Sosialis Georg Lukacs, 1997)

B.        Filsafat Realita Sosial Kebangsaan
Secara epistemologi istilah filsafat berasal dari bahasa yunani yaitu ”Filosofi” (philosophy) berasal dari kata Philos yang mengandung arti ”Cinta” dan ”Sophia” mengadung arti ”Kebijaksanaan” atau ”Pengetahuan” jadi filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan(Filsafat juga berarti mendambahkan pengetahuan atau dengan perkataan lain adalah bahwa orang yang berfilsafat mendambahkan pengetahuan yang sejati. Lihat Dwi Siswanto dalam bukunya yang berjudul Orientasi Pemikiran Filsafat Sosial, 2009) . Namaun realitas yang terjadi adalah cinta kebijaksanaan dipolitisir menjadi mencintai kebijaksaan(Menurut hemat penulis Mencintai kebijaksanaan adalah orang yang selalu rindu untuk dicintai melalui pencarian identitas baru (popularitas diri), berbeda dengan cinta kebijaksanaan yang menurut penulis adalah orang yang cinta akan kemanusiaan dengan melakukan hal-hal yang arif dan bijaksana (subjektif vs objektif, naturalisme vs relativisme, dan empirisme vs asumtifisme) . Jadi filsafat realitas sosial kebangsaan menurut penulis proses berpikir yang terstruktur dalam memberi bimbingan dan jawaban guna mengatasi masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang terjadi adalah usaha filosof untuk memberi bimbingan dan jawaban agar dapat mengatasi problem-problem sosial(Robert N. Beck dalam bukunya yang berjudul Perspectives in Social Philosophy, 19670) . Justru yang terjadi adalah depolitisasi struktural dengan menggunkan konsep aporia dan nonidentitas seperti yang dikatakan oleh Jacques Derrida(Aporia adalah struktur atau logika yang menunjukkan kelemahan atau kontradiksi dalam logika teks atau dengan perkataan lain Aporia ada dalam setiap teks filosofi akibat permainan diffirance yang terelakan. Sedangkan Nonidentitas merupakan kontradiksi yang inheren dalam setiap sintesis yang ingin menotalisasi perbedaan-perbedaan. Lihat Muhammad AL – Fayyadel dalam bukunya yang berjudul Derrida, 2006).

Dalam memahami filsafat realitas sosial kebangsaan maka yang perlu saya kekumakan disini adalah gambaran umum realitas sosial yang terjadi dalam negara ini seperti beras impor, gula impor, buah impor, mobil impor, motor impor, bajaj impor, air conditioner impor, computer impor, tv impor, handphone impor, pakayan impor, kain impor dan sebagainya, hampir-hampir semua barang yang ada di negara ini diimpor dari negara-negara asing. Begitu juga dengan Bank Swasta nasional seperti BCA, Danamon, BII, Bank Niaga, dan Bank Swasta lainnya sudah menjadi milik perusahaan asing (Wawan Tunggal Alam dalam bukunya yang berjudul Di Bawah Cengkeraman Asing – Membongkar akar persoalannya dan tawaran revolusi untuk menjadi tuan di negeri sendiri, 2009) . Sebagai contoh kita dapat melihat dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 111 Tahun 2007 yang memberikan peluang bagi asing untuk menguasai hingga 99% saham perbankan nasional(Kompas, Opini, Pembangunan Tanpah Roh, Rabu, 07 Juli 2010) . Disinilah letak permasalahan bangsa kita yang menurut hemat penulis adalah permainan konsep ”aporia” dan nonidentitas seperti apa yang dikatakan oleh Jacques Derrida (lihat Catatan kaki no 10 dalam tulisan ini)
a.  Aporia
Konsep aporia dan non identitas tersebut apabila dikaitkan dengan realitas sosial kebangsaan saat ini maka kita dapat melihat bahwa bangsa kita telah dijajah dalam berbagai sendi kehidupan, dimana penjajahan kolonialisme telah berubah wujud menjadi penjajahan neokolonialisme yang ditandai dengan pengeksplotasian kekayaan yang ada dinegara ini seperti:
1.     Aqua 74 % saham dikuasai oleh perusahaan danone, Carrefour, bahakan 75% saham dari Supermarket Alfa adalah milik Carrefour (milik Negara Perancis)
2.   Teh Sariwangi 100% saham milik Unilever, begitu juga Sabun Lux, Pepsodent, Sikat Gigi Pepsodent kesemuanya (milik Negara Inggris),
3.    Susu SGM Milik Sari Husada 82% saham dikuasai oleh Numico (milik Negara Belanda),
4.   Rokok Sampoerna 97% saham milik Philips Morris, dengan mengeluarkan dana sebesar Rp 45, 066 Triliun ungkap Martin King setelah dinobatkan menjadi Presdir yang baru (Kompas, 19 Mei, 2005) ., Circle K (milik Negra USA),
5.    Giant, Hypermarket, Milik Dairy Farm International (Malasya), bahkan Dairy Farm International ini adalah pemilik saham dari supermarket Hero,
6.    Semen Tiga Roda, bikinan Indo Cemen kini sudah milik Heidelberg (Jerman), yang menguasai sekitar 61,70% saham,
7.    Semen Gresik milik Cemex (Meksiko),
8.   Semen Cibinong 77,37% saham Milik Holchim (Swiss)( Lihat Majalah Swa, Juli, 2006)

Dari beberapa fakta tersebut diatas, maka yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memproteksi produk-produk hukum yang ketat dengan batas-batas kepemilikan saham perusahaan asing. Kegagalan pemerintah dalam memproteksi kepemilikan saham asing tersebut yaitu ketika pemerintah orde baru mengeluarkan UU PMA No 1 Th 1967, diikuti dengan Peraturan Pemerintah (PP) Tanggal, 09 Mei 1994. No 20 Th 1994 Tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Hal inilah yang menimbulkan terjadinya privatisasi BUMN. Kemudian pemerintah melakukan perubahan Peraturan Pemerintah (PP) No 20 Th 1994 dengan PP No 83 Tahun 2001 namun dalam perubahan PP No 20 tersebut pemerintah hanya merevisi satu pasal yakni pasal 9 ayat 4 PP No 20 Th 1994 tersebut dimana pasal 9 ayat 4 tersebut dihapus. Begitu juga dengan produk Undang-Undang (UU) lainnya seperti UU Migas, UU Pertambangan mineral dan batubara (Minerba), UU PMA, UU Desian Industri, serta berbagai kontrak karya pertambangan dan sebagainya.

Begitu banyak UU yang telah dikeluarkan oleh negara, namun proses segregasi dan distrosi semakin merajalela dalam praktek penyelenggaraan negara yang bebas dari praktek-praktek Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). Artinya banyak sekali produk UU yang dikeluarkan oleh pemerintah namun tidak ada satupun produk UU yang dapat menjerat para pelaku-pelaku koruptor dinegara ini sebagai comparative kita dapat melihat kasus-kasus korupsi besar yang terjadi di negara ini antara lain kasus korupsi ditubuh korps kepolisian, kasus sisminbakum, kasus penggelapan pajak, kasus BLBI, kasus Bank Century, dan sebagainya. Namun semua kasus ini tidak pernah dapat diselesaikan di meja hijau.

b. Nonidentitas
Saat ini negara indonesia telah mengalami krisis identitas, dimana bangsa ini tidak lagi menghargai bahasa ibu sebagai suatu keharusan yang mutlak, justru yang terjadi adalah negara selalu bereforia dengan menggunakan istilah-istilah weternisasi (keinggris-ingrisan). Padahal pada tahun 1959 dan tahun 1990-an pemerintah indonesia telah mengeluarkan peraturan yang melarang pemakaian bahasa inggris. Bagitu juga pada tahun 1990-an dengan tegas pemerintah kembali mengeluarkan peraturan terkait pemakaian bahasa inggris dalam pembuatan iklan, namun peraturan-peraturan tersebut terkesan mubasir untuk diejawantahakan. Hal ini sangat merisaukan kita semua karena negara-negara lain berusaha untuk mempertahankan bahasa ibu nya, malahan negara ini berbalik 180 derajat dalam mempertahankan basa ibu tersebut, justru kita lebih bangga menggunakan istilah-istilah inggris dalam percakapan kita sehari-hari (Sebagai contoh di Mall kita akan jumpai tulisan-tulisan westernisasi, Bandara, SPBU, Rumah Sakit, Kantor swasta, dan sebagainya.). Ironisnya lagi pemerintah dalam hal ini Depdiknas menetapkan syarat kelulusan ujian nasional berupa mampu menguasai matematika, bahasa inggris dan sebagainya.

Berbeda dengan negara lainnya seperti Jepang, China, Korea, Islandia, Rusia, Canada, Perancis dan sebagainya dimana mereka berusaha mempertahakan bahasa ibunya. Sampai-sampai semua perusahaan yang melakukan incestasi di negara mereka wajin memasang plang nama kantor dengan menggunakan bahasa negara tersebut. Justru hal ini terbalik dalam negara kita dimana perusahan-perusahan lokal ketika melakukan kontrak kerja sama selalu menuliskan kontraknya dalam bahasa inggris, padahal perusahan-perusahan tersebut adalah perusahan lokal. Ini sebagai bukti dimana kita lebih bangga menggunakan bahasa negara lain dari pada menggunakan bahasa negara kita. Apabila kita tidak menghargai bahasa negara kita sendiri, maka sama saja kita telah menyerahkan hak kewarganegaraan kita kepada negara-negara neokolonialisme (Menurut hemat penulis Neokolonialisme adalah penjajahan mentalitas ) . Inilah kesalahan vatal yang dilakukan oleh negara, dimana negara memberikan keleluasan kepada investor untuk berinvestasi yang seluas-liasnya dinegara ini sehingga tanpa tidak sadar kita telah tersubordinir dengan budaya snobisme.

C.        Negara, Penguasa, dan Kekerasan
Terbentuknya Negara bukanlah suatu proses yang singkat dan memerlukan proses yang sangat panjang, sehingga dalam membangun suatu tatanan masyarakat yang egalitarian kemungkinan besar timbulnya tindakan destruktif yang di lakukan oleh Negara karena memperebutkan asset ekonomi dari masyarakat, agar konflik dapat di kurangi maka di bentuklah suatu institusi yang di beri nama pemerintah.

Nagara terbentuk berdasarkan atas suatu perjanjian anggota masyarakat dan perjanjian masyarakat tersebut di serahkan kepada suatu penguasa pusat, perjanjian ini bukan di buat oleh warga Negara dan penguasa yang memerintah, tetapi merupakan kesepakatan yang timbul di antara warga Negara sendiri. Mereka bersama-sama bersepakat untuk mentaati suatu penguasa yang memerintah serta anggota masyarakat tunduk dan terikat kepada penguasa dan perjanjian tersebut.

Perjanjian tersebut merupakan cita-cita hukum yang menganut anggota masyarakat, oleh karena itu pemerintah membutuhkan hukum dan aparatusnya agar masyarakat dapat di tata sedemikian rupa sehingga cita-cita tersebut dapat di capai.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, Negara membangun institusi aparatur negara yang dapat membantu pemerintah dapat mewujudkan cita-cita bersama. Pemerintah memiliki wewenang dan kekuasaan untuk menjalankan hukum dan undang-undang. Hukum dan undang-undang tersebut dapat dijalankan dengan cara damai bahkan pemerintah dapat memaksakan kehendaknya karena telah memiliki alasan-alasan atau dasar pembenaran tindakan melalui teori pembenaran penguasa Negara yaitu:
1.     Pembenaran Negara dari perspektif ketuhanan. Teori tersebut beranggapan bahwa tindakan penguasa atau pemerintah selalu benar sebab penguasa adalah wakil Tuhan. Penguasa adalah titisan Tuhan sehingga tindakan penguasa selalu benar, serta masyarakat harus patuh kepada penguasa karena penguasa adalah petugas Tuhan yang suci, adil di dunia,
2.   Pembenaran Negara dari perspektif kekuatan. Teori tersebut beranggapan bahwa penguasa Negara memiliki alasan pembenaran karena penguasa Negara memiliki kekuatan jasmani, yaitu apparatus Negara, angkatan bersenjata, institusi kekuatan rohani, ideologi, dan kekuatan materi, ekonomi dan sumber daya manusia,
3.    Pembenaran Negara dari perspektif hukum. Teori tersebut beranggapan bahwa penguasa Negara akan selalu benar karena penguasa Negara bertindak berdasarkan hukum, dan masyarkat harus taat kepada Negara karena menjalankan hukum yang merupakan hasil perjanjian.

Berdasarkan dengan ketiga alasan tersebut di ataas maka Negara dalam menjalankan fungsinya akan selalu mendapat alasan pembenaran dari berbagai macam perspektif. Legitimasi tersebut sangat kukuh untuk menghadapi “pembangkangan” warga Negara.

Legitimasi vertikal kekuasaan bersumber dari Tuhan maupun legitimasi berdasarkan kekuatan, merupakan sumber-sumber pembenaran yang di pakai oleh penguasa abad silam, yang dimana ideologi komunis tidak di berlakukan sesuai dengan Tap MPRS/XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, akan tetapi bagi penguasa modern sekarang ini yang lebih dominan adalah alasan penguasa hukum, dan melalui hukum pemerintah dapat bertindak serta memaksa kehendaknya agar tujuan Negara tercapai. Walaupun demikian, berdasarkan sejarah, tindakan yang di lakukan oleh penguasa tidak selalu benar seperti kasus depolitisasi G.30.S. pada tahun 1965. Sebenarnya kasus G.30 S. tersebut adalah sebuah kamuflase konspirasi politik yang dimainkan oleh USA (Caltex adalah perusahaan perusahaan patungan Standar Oil of California dengan Texaco (Texas Company). Texaco ini pernah di pimpin oleh Agustus C. Long. Pada tahun 1965 Augustus C. Long terpilih menjadi Chemical Bank salah satu perusahaan dibawah Rockefeller, dan pada tahun ini juga Long diangkat menjadi anggota dewan penasihat intelejen USA untuk urusan luar negeri pada pada masa presiden Jhonson. Badan inilah yang sangat berpengaruh dalam menyetujui atau menyarankan operasi rahasia di negara-negara tertentu, termasuk operasi rahasia yang menamatkan kekuasaan Presiden Soekarno dengan meletusnya insiden G.30.S.) guna mendapatkan kekayaan alam yang ada di indonesia dan negara berkembang lainnya.

Negara merupakan representasi dari seluruh unsur yang membentuknya, sedangkan pemerintah cenderung merupakan sekelompok elit penguasa yang dalam banyak kasus ternyata memiliki agenda dan kepentingan sendiri. Penguasa suatu Negara di dalam usahanya untuk mencapai puncak kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan akan menggunakan apparatus dan hukum di dalam Negara tersebut. Hal seperti ini terjadi terutama di Negara-negara berkembang. Dalam hal ini kebenaran yang di klaim oleh puncak kekuasaan harus di perjuangkan dengan cara menyingkirkan kelompok-kelompok lain yang juga ingin mencapai puncak kekuasaan.

Cara mencapai puncak kekuasaan tersebut dapat di lakukan dengan cara diplomasi, bahkan cara kekerasan. Kekerasan dapat di lakukan dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk fisik maupun non fisik. Kekerasan fisik bisa berupa pemukulan, penembakan dan lain-lainnya sedangkan kekerasan berupa non fisik, dapat berupa indoktrinasi dan manipulasi.

D.       Membangun Interaksi Politik Pemerintah Dengan Rakyat
Pemerintahan atau “Government” dalam bahasa inggris di artikan sebagai “The authoritative direction and administration of the affairs of men/women in a nation state, city, etc.” dan dalam bahasa Indonesia di artikan sebagai “pengarahan dan administrasi yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam sebuah negara, Negara bagian, kota dan sebagainya.” Sedangkan istilah “kepemerintahan” atau “Governance” yang berarti “tindakan, fakta, pola, dari kegiatan atau penyelenggaraan pemerintahan”.

Dengan demikian “governance” adalah suatu kegiatan atau proses sebagai mana yang diungkapkan oleh Kooiman (eds,1993) bahwa governance lebih merupakan serangkaian proses interaksi social politik antara pemerintah dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut.

Istilah “governance“, tidak hanya berarti kepemerintahan sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan, pembinaan, penyelenggaraan dan bisa juga di artikan pemerintahan. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila terdapat istilah public governance, private governance, corporate governance dan banking governance. Governance sebagai terjemahan dari pemerintahan kemudian di kembangkan dan menjadi populer dengan sebutan kepemerintahan yang baik (good governance).

Kooiman (1993:258) memandang governance sebagai sebuah struktur yang muncul dalam sistem sosial politik sebagai hasil dari tindakan intervensi interaksi di antara berbagai aktor yang terlibat. Sesuai dengan karakteristik interaksi antara pemerintah dan masyarakat yang cenderung bersifat plural, maka konsepsi governance tersebut tidak hanya dapat di batasi dalam suatu unsur pelaku atau kelompok pelaku tertentu.

Sebagaimana yang di katakan oleh Marin dan Mayntz (eds 1991) bahwa kepemerintahan politik dalam masyarakat modern tidak bisa lagi di pandang sebagai pengendalian pemerintah terhadap masyarakat, tetapi muncul dari pluralitas pelaku penyelenggaraan pemerintah.

United Nations Development Program (UNDP) dalam dokumen kebijakannya yang berjudul “Governance for Sustainable Human Development, Januari 1997” mendefinisikan kepemerintahan (governance) sebagai berikut: “Governance is the exercise of economic, political, and administrative authority to manage a country’s affairs at all levels and the means by which states promote social cohesion, and ensure the well-being of their population” (“ Kepemerintahan adalah pelaksanaan kewenangan atau kekuasaan di bidang ekonomi, politik, dan administrasi untuk mengelola berbagai urusan Negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrumen kebijakan Negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan, integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat.”) Berdasarkan dengan pengertian tersebut di atas UNDP mengindikasikan adanya tiga model kepemerintahan yaitu”
1.     Model Kepemerintahan Ekonomi (Economic Governance Model)), yang meliputi proses pembuatan keputusan (decision making processes) yang memfasilitasi kegiatan ekonomi di dalam negeri dan interaksi di antara penyelenggara ekonomi. Economic governance mempunyai implikasi terhadap kesetaraan, kemiskinan dan kualitas hidup;
2.   Model Kepemerintahan Politik (Political Governance Model), yang mencakup proses-proses pembuatan berbagai keputusan untuk perumusan kebijakan;
3.    Model Kepemerintahan Administrasi (Administrative Governance Model) yaitu sistem implementasi kebijakan.

Oleh karena itu kelembagaan dalam governance meliputi tiga domain, yaitu Negara (state), sektor swasta (private sector) dan masyarakat (society) (Negara berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif termasuk di dalamnya lembaga-lembaga politik maupun lembaga sektor publik, sektor swasta berfungsi menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan masyarakat memfasilitasi interaksi sosial dan politik, menggerakan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan ekonomi, sosial dan politik.) yang saling berinteraksi dalam menjalankan fungsinya masing-masing.

Dalam kaitan dengan masyarakat Hubbard (2001) mengatakan “governance is more than government”. Kemudian istilah “governance” di definisikan sebagai “how societies steer them selve” (“bagaimana masyarakat mengatur dirinya sendiri.”). sedangkan Bank Dunia (World Bank) sebagaiman dikutip oleh Bintoro Tjokromidjojo (2000 : 34) merumuskan konsep governance sebagai “the exercise of political powers to manage a nation’s affairs” (pelaksanaan kekuasaan politik untuk memanage masalah-masalah suatu Negara).

Dengan berbgai konsep mengenai kepemerintahan tersebut di atas pada dasarnya hampir sama yaitu mengenai bagaimana pemerintah berinteraksi dengan masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik dalam upaya pemenuhan kepentingan-kepentingan masyarakat.

E.        Penutup
a.    Simpulan
Pemerintah selalu mencari pembenaran dengan sebuah produk undang-undang, padahal produk undang-undang tersebut merupakan manifestasi dari ”kehendak untuk berkuasa”. Dalam artian bahwa pengkoordinasian program pemerintah yang dijalankan saat ini sangat buruk sehingga berdampak pada pengreduksian konsensus ekonomi dan konsensus politik, dimana jurang antara masyarakat yang kaya dan miskin semakin lebar. Apalagi rezim SBY dan Budiono tidak pernah berupaya untuk memajukan perekonomian bangsa, bukti kita dapat melihat dari utang negara yang begitu besar serta kasus korupsi yang tidak pernah tidak pernah terselesaikan dengan menyeret pelaku-pelaku tindak pidana tpikor tersebut ke meja pengadilan.

b.  Saran
Dengan melihat dan mencermati keseluruhan tulisan siingkat ini maka hal yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah:
1.     Meproteksi peraturan-peraturan yang dapat menimbulkan perekonomian negara ini lumpuh.
2.   Perlu ada perubahan paradigma dan perilaku dari pemerintah dan birokrat dalam membangun negara yang egaliterian.
3.    Negara harus mampu menciptakan konsensu ekonomi dan konsensus politik dalam segala aras kehidupan berbangsa dan bernegara.
4.   Negara harus dapat mengusut dan menyelasaikan kasus kekerasan pelanggaran HAM yang terjadi.
5.    Negara harus tegas dalam melakukan pembaratasan korupsi di negara ini tanpa memandang predikat.

Untuk itu kita jangan mudah goyah terhadap setiap persoalan yang terjadi dalam realita kebangsaan ini, tetapi kita harus berdiri teguh sembari menyusun panji-panji kekuatan untuk merebut kembali negara ini, dari para hantu-hantu penghisap darah rakyat.

Salah satu strategi untuk kita dapat mengambil kembali cita-cita negara indonesia sesuai dengan spirit egelitarian dan gotongroyong adalah kita boleh tidak larut dalam ’’budaya konsumisme hedonistik’’. Jadi kalau kita bersedia ikut membangun Indonesia yang adil dan solider, yang demokratis dan tetap menghargai pluralitas, perjuangan kita akan berhasil.

Seperti apa yang dipidatokan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 yang berbunyi: ”Hai, hati-hati saudara! Semua ini tergantung pada manusianya.” bila sistem jelek tetapi manusianya baik, maka si manusia akan memperbaiki sistem, tetapi bila sistemnya bagus, tetapi mental manusia jelek, maka si manusia akan merubah sistem untuk kepentingan sendiri.

Demikan seberkas pemikiran dan harapan yang dapat saya sampaikan dalam forum diskursus yang mulia ini.

Teriring Salam Doa Agung Tuhan Yesus Kristus.
Tinggi Iman
Tinggi Ilmu
Tinggi Pengabdian

“Ut Omnes Unum Sint”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar