WELCOME

” Blogger ini bukan merupakan forum penghakiman ataupun penuduhan. tetapi merupakan kesempatan proses pembelajaran strategis untuk mengasah dan membangun nalar yang konstruktif/kristis, kemampuan konseosi dan taktik belajar yang efektif

Kamis, 21 Oktober 2010

EKSISTENSI HIDUP, KEMATIAN, KESENGSARAAN DAN KEBEBASAN UMAT MANUSIA


A.       Prolog
Pemikiran eksistensialisme seringkali di warnai perdebatan atau kontroversi sehingga manusia saling memarjinalkan dan bahkan manafikan individu namun Eksistensialisme mewarnai pemikiran filsuf pada abad ke XX. Berkat perjuangan filosof Denmark, Solen Kierkegaard, sebagai pendiri aliran tersebut.

Hegelian mendudukkan manusia sebagai yang pasif dan sebagai integral dari “ruh yang mengasingkan diri” dan memproklamasikan kembali keunikan individu dengan predikat kebebasan hehendak yang berorientasi pada kebebasan spiritual sehingga manusia dalam ranah eksistensi tersebut terbentangkan. Oleh sebab itu manusia memperoleh mahkota individualitas dan kebebasan yang selama ini terabaikan.

Masalah (problem) eksistensialisme yaitu mempersoalkan arti hidup, kematian, kesengsaraan, dan kebebasan. Namun eksistensi memiliki perspektif yang sama sebagai landasan antologis dalam candera kehidupan. Gabriel Marcel, Karl Jasper, Heidegger, Jean Paul Sartre, Simone de Beauvoir, Marleau Ponty dan dua pemikir Rusia, Nikolay Berdyaev (1874-1948) dan Leon Shestov (1866-1938), juga termasuk teolog protestan, Karl Barth, mereka-mereka ini lazim di labelkan sebagai eksistensialis.

Kesamaan platform berpikir dan dasar berkreasi para filosof eksistensialis memiliki sifat-sifat dasar sebagai bagai berikut:
1.     Menulusuri kerapuhan manusia (beings) melalui pengalaman “terktutuk untuk mati” dan “terhukum untuk bebas” serta pengalaman individu menjadi primer;
2.   Eksistensi sebagai objek utama mengintroduksi desain, eksistensi, ego, sebagai yang unik;
3.    Eksistensi sebagai aktualistik dan tidak pernah sebagai adanya, akan tetapi secara bebas menciptakan dirinya; eksistensi isomorfik (bersifat tekanan yang sama) dengan temporalistas (bersifat sementara);
4.   Manusia sebagai subjektivitas murni, dan bukan sebagai manifestasi dari proses kehiduapan kosmik (bersifat jaga raya). Sujektivitas dipahami dalam arti kreatif yaitu manusia menciptakan diri sendiri dan di dalamnya kebebasan terafirmasi;
5.    Manusia indefenitif atau tidak lenagkap dalam realita terbuka dan terikat pada dunia manusia lain sehingga manusia menghadapi situasi deterministik (konsekwensi dari kejadian-kejadian sebelumnya dan yang berada di luar kemaunnya) serta menghadapi situasinya sendiri;
6.    Menolak distingsi (perbedaan) antara subjek dan objek. Untuk itu bagi para eksistensialis, ilmu pengetahuan yang sesungguhnya tidak di peroleh dari pengertian, melainkan melalui pengalaman;
7.    Penerimaan serta penolakan terhadap Tuhan, seperti halnya Solen Kierkegaard, mengatakan Tuhan dalam kontemplasi eksistensialis, sementara Karl Jasper menyisipkan Tuhan dalam pengertian teisme, panteisme, atau ateisme, dan Heidegger pada awalnya adalah ateistik. Namun selanjutnya di rehabilitasi oleh beberapa muridnya. Kontroversi pun menyertai dirinya terkait dengan keterlibatannya pada partai Nazi. Selanjutnya Jean Paul Sartre, larut dalam humanitas tanpa Tuhan dan dia dikategorisasi eksistensialis ateistik. Dan pada akhirnya Friedrich Wilhelm Nietzsche memaklumatkan kematian Tuhan dalam upaya melahirkan konsep kehendak untuk berkuasa. Dan hampir semua eksistensialis sepakat untuk mendudukkan “eksistensi” mendahului “esensi” gagasan humanitas baru tersebut di proklamasikan oleh Jean Paul Sartre dalam Existensialism and Human Emation.

1.         Refleksi Kemusiaan Dan Kebebasana Absolut
Dunia filsafat adalah dunia dimanis yang mengejawantahkan proses konstruksi-konstruksi, dekonstruksi, tesis, antitesis, sintesis,dalam satu tujuan untuk mencari sebuah kebenaran yang hakiki.dari setiap sesuatu yang ada di dunia ini.

Segala sesuatu di filsafati hingga terkuak tabir yang menutupi selubung pekat sesuatu tersebut, hingga terpampanglah sebuah cakrawala pengetahuan yang tidak jarang sangat ekstrem dan mendobrak kemapanan dan status quo pengetahuan atau pemikiran.

Dunia filsafat akan terus bergerak sepanjang zaman seiring dengan masih berdenyutnya jantung manusia, waktu masih berdetak, ruang masih meruang, dan manusia masih berolah pikir.

Melalui proses falsifikasi yang tidak pernah berakhir tersebut, ada sebuah titik di mana filsafat sudah merambah dunia absolut, dunia kemapanan, dunia status quo yang bagi sebagai orang haram di sentuh, namun kemudian harus bersentuh juga sehingga filsafat tersebut harus di cap ekstrem, kiri, liberal, atau bahkan ateis.

Ada satu perspektif yang terkesan humanis, egoistis, di mana filsafat yang berbau ekstrem dan kiri tersebut semuanya di konstruksi demi peningkatan kualitas kemanusiaan dan kebebasan absolut yang menjadi pencarian manusia untuk mengembangkan dirinya tanpa harus tersekat pada sekat-sekat yang sudah given dan tidak bisa di ganggu gugat lagi oleh suatu kekuatan yang hegemonik.

Dari sinilah kemudian lahir filsafat yang mengagungkan manusia di atas segalanya, salah satu bentuknya adalah apa yang dinamakan dengan antropodisi, di mana di dalam antropodisi tersebut manusialah yang menjadi pusat jagat raya, akibatnya Tuhan harus di letakkan di luar dan tidak punya intervensi terhadap kekuasaan dan kebebasan manusia yang absolut. Dengan kata lain, manusia menjadi prinsip eksplanatoris yang lepas dari kepercayaan, kategori-kategori Tuhan, dan terpisah dari kehendak Tuhan serta sepenuhnya terletak pada kekuatan manusia itu sendiri.

Dengan kebebasan absolute tersebut, manusia pun terhindar dari sikap eksklusif, sehingga berbagai stagnasi kemajuan dan pemikiran manusia menjadi terlepaskan, akibatnya agama pun manjadi emansipatoris. Agama untuk manusia dan bukan manusia untuk agama, yang di dalamnya juga menegaskan humanitas yaitu suatu humanitas konkrit dengan segenap paradoks yang di kandungnya, dan lebih singkat lagi yaitu suatu revolusi paradigmatik dalam epistemologi, pembalikan Kopernikan yang menempatkan manusia sebagai yang otonom dari dan bagi dirinya, menurut suatu pertanggungjawaban khas manusia.

Dalam konteks inilah, pemikiran yang tercakup dalam pelbagi disiplin ilmu semakin terfokus pada emansipasi manusia.

Karl Marx dengan berbagai teori keterasingan manusianya, membedah dan mengoyak-ngoyak isi keterkungkungan manusia sehingga bisa terbebas dari berbagai belenggu yang membuatnya terasing. Manusia bebas melakukan apa saja, dan tanggung jawab dari berbagai tindakannya, baik buruk maupun baik ada pada dirinya sendiri.

Sedangkan Dostoievsky mengumbar pola pikir meonik yang terangkum dalam meontologi untuk mengejawantahkan kebebasan absolute manusia. Pola pikir meonik sebagai suatu swa-aktivitas murni mirip dengan pusaran air tanpa dasar dan nonkausal.
Meonik adalah dinamika, sesuatu yang berada dalam proses menjadi tanpa mengenal titik stagnan tertentu.

Meonik sebagai dinamika merupakan dasar pemahaman tentang manusia dan kebebasan absolute. Dari sana kemudian, Dostoievsky pun melontarkan pemikirannya yang paling monumental kebebasan spiritual. Bahwa kebebasan spiritual merefleksikan nilai ultimo manusia dan berdistingsi dengan kekuasaan Tuhan. Namun pandangan Dostoievsky berbeda dengan Karl Marx dan Nietzsche. Dostioevsky berpendapat bahwa dalam kebebasan spiritual tersebut, Tuhan merupakan suatu dimensi yang tetap harus di perhitungkan.

Tidak ada kebebasan tanpa kebebasan spiritual, tidak ada kebebasan spiritual tanpa intervensi Tuhan dalam kehidupan konkrit, tapi bukan berarti Tuhan adalah segalanya di sini, karena di sisi lain manusia adalah bebas, maka segala sesuatu di selesaikan secara otonom oleh manusia itu sendiri.

Namun pemikiran yang lebih ektrem lagi adalah pemikiran Nietzsche yang jelas-jelas mangajak manusia untuk membunuh Tuhan demi kepentingan melahirkan suatu humanitas baru yang lebih humanis sehumanis-humanisnya, akibatnya maklumat pembunuhan Tuhan pun bergema dalam ragam bentuk yakni masa akut anomali pemikiran, disorientasi, nilai, sekularitas, dan krisis iman, distorsi kehidupan agama, desekralisasi dunia transendental, dan penggusuran tanpa ampun habitat dan kerahiman Tuhan, adalah subur bagi implementasi Nietzschean, inilah yang kemudian disebut sebagai gagasan ateistik Nietzsche.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar