WELCOME

” Blogger ini bukan merupakan forum penghakiman ataupun penuduhan. tetapi merupakan kesempatan proses pembelajaran strategis untuk mengasah dan membangun nalar yang konstruktif/kristis, kemampuan konseosi dan taktik belajar yang efektif

Kamis, 21 Oktober 2010

NEGARA BERSEMAYAM DALAM ETNO-NASIONALISME DAN OREINTALISME AGAMA


A.       Prolog
Indonesia yang sudah lebih dari 63 tahun berdiri sebagai bangsa yang tidak terhindar ancaman disintegrasi nasional. Terutama melemahnya semangat nasionalisme oleh karena tarikan globalisme, lokalisme dan radikalisme. Tarikan-tarikan tersebut menguat karena pemerintah selama ini gagal mewujudkan cita-cita nasional antara lain membangun masyarakat yang adil dan makmur, sehingga munculnya prasangka sentiment dan ketidak puasan social yang luas. Persatuan dan kesatuan bangsa yang selama ini menjadi retorika, ternyata belum mampu mengakomodasi aspirasi secara adil. Penguasaan sumber-sumber kemakmuran hanya berada di tangan kelompok elite yang menindas mayoritas bangsa. Akibat rasa dan semangat kebangsaan yang lahir dari semangat senasib sepenanggungan menjadi lemah. Ideology pancasila yang merupakan pemersatu bangsa kini nilainya semakin merosot dan mendorong sebagaian orang atau kelompok mencari alternative ideology lain. Kondisi yang demikian bila tidak ditangani secara sadar dan sungguh-sungguh maka akan mengancam kelangsungan kebangsaan kita. Ada dua masalah penting kebangsaan yang di hadapi Indonesia yakni:(1). merosotnya pemahaman kebangsaan dalam tiga elemen yaitu masyarakat, kekuatan-kekuatan politik formal (Partai Politik, KPU, Bawaslu) dan organisasi-organisasi social yang ekslusif-komunal dan, (2). munculnya etno nasionalisme (lokalisme) baik karena sebab histories maupun karena penerapan desentralisasi yang terdistorsi. Integrasi nasional akan berhasil jika elite politik mampu mengintegrasikan hubungan yang baik antar elite dan massa. Hubungan yang baik tersebut meliputi hubugan politik yang adil dan harmoni, sehingga tercipta integrasi politik dan integrasi territorial. Apabila elite gagal menjalankan peran dan fungsinya dimana elite politik tidak mampu lagi mengendalikan gerakan resistensi social dan politik terhadap ideology politik dan territorial maka akan bermuara pada keruntuhan Negara. Etno nasionalisme (lokalisme) jika tidak dikelola dengan baik, dalam jangka panjang maupun menengah merupakan ancaman yang sangat relevan bagi wawasan kebangsaan Indonesia. Lokalisme di Indonesia kini muncul dalam tiga bentuk, yakni (1).etno nasionalisme yang menghendaki kemerdekaan total dari RI, “(2). etno nasionalisme yang menghendaki otonomi seluas-luasnya dengan system hukum dan ketatanegaraan yang berbeda dan, (3). Etno nasionalisme dalam system desentralisasi dimana elite politik menghendaki kepemimpinan local didominasi oleh orang-orang local. Meguaknya perpolitikan nasional saat ini, menghanyutkan masyarakat pada kandidat-kandidat yang ingin berkompetisi dalam kancah perpolitikan nasional . Hak Sipol yang diamanatkan memalui Konvenan HAM hanya menjadi jargon dalam dunia perpolitikan pragmatisme. Figure-figur kepemimpinan bangsa saat ini hanya memikirkan tentang bagaimana membangun koalisi yang akuntabel bukan memikirkan bagaimana membangun masyarkat yang adil dan sejahtera sesuai dengan amanat UUD 1945. Rakyat dibutakan dengan koalisi pragmatisme yang berujung pada kekausaan tirani, sehingga negara ini semakin berada pada persimpangan jalan. Sebagai umat Kristen kita harus menentukan pilihan kita yang tepat agar kita tidak terjebak dalam pergulatan kekuasaan tetapi kita mampu menyeruakan hak-hak orang kristen sebagai warga negara yang bertanggungjawab atas keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu pertanyaan kritis yang harus kita (umat kristen) pikirkan bersama adalah 1. Mengapa kita harus berpikir tentang pilpres saat ini? 2. Apakah keuntungan umat krsiten dalam Pilpres tahun ini (keuntungan vs kerugian)? 3. Bagaimana umat kristen memainkan perannya dalam momentum pilpres? 4. dipihak manakah umat kristen harus beridiri dalam menentukan pilpres?, dan 5. Dimanakah kita (umat kristen) harus mengarahkan seluruh potensi kader-kader kristen guna mengimplementasi suara kenabian dalam pluralisme nation/state?, 6. apakah penegakkan hukum yng terjadi di Indonesia sudah mencerminkan tentang hakekat berbangsa dan bernegara (menguaknya perda-perda syariat)?

Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia yang adalah gerakan yang bersifat dinamis dan selalu hadir dalam segala aspek kemanusiaan serta spirit nasionalisme yang menjadi arakan-arakan dalam pergumulan dan pertautan kebangsaan harus mampu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki. Nilai-nilai tersebut harus diejawantahkan dalam spirit demokrasi substansial sehingga orang Kristen umumnya tidak terkooptasi dengan hegemoni kekuasaan belaka, dengan perkataan lain bahwa umat Kristen harus mampu berdiri teguh dan tidak mudah goyah dalam menyatkan firman kebenaran yang diajarkan oleh Tuhan Yesus Kristus kepada umatnya, sesuai dengan grand tema GMKI periode 2008-2010 yaitu “Berdirilah Teguh, Jangan Goyah” (1 Korintus 15:58). Reformasi yang membuahkan elite dan partai-partai politik yang baru ternyata tidak serta merta memperkuat semangat dan wawasan kebangsaan. Malah sebaliknya semangat lokalisme, primordialisme, dan sektarianisme, justru yang semakin menguat. Menghadapi tantangan dan ancaman ke-Indonesia-an kita, maka upaya menemukan kembali keindonesiaan menjadi suatu kemutlakan. Diperlukan revitalisasi ideology pancasila baik melalui praktek politik maupun dalam proses pendidikan selain itu perlu didorong kearifan local yang memberikan penghargaan tentang kepelbagian dalam membangun kesadaran multicultural Indonesia dalam bingkai paradigma Bhineka Tunggal Ika. Oleh karena itu ke masa depan harus di hindarkan kemungkinan akan adanya upaya dari suatu subkultur atau etnisitas yang mendominasi kultur nasional.

B.        Membangun Indonesia Bersama Kasih
Konteks ke-indonesia-an saat ini telah mereduksi nilai-nilai universalisme dimana tindakan destruktif, saparatisme, kejahatan negara maupun peperangan ideologi selalu membombardir negara ini melalui media cetak maupun media elektronik, seolah-olah rakyat diperhadapkan dengan suatu kehidupan yang sangat menyaramkan, yaitu kehidupan yang selalu dipolitasi dengan bungkusan ideologi tertentu guna mencari popularitas dan kemegahan individual. Nilai-nilai gotong royong yang merupakan jembatan emas dari rukun warga telah mengalami dikotomi dan terdistorsi dengan kemunafikan matrealisme sehingga semangat gotong royong telah berubah wujud menjadi pragmatisme individual. Membangun indonesia bersama kasih merupakan retorika logo-sentrisme, karena Alkitab berkata bahwa ” Kerana sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambar yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna seperti aku sendiri dikenal ” (1 Korintus 13:12). Sebagai umat kristen yang memiliki integritas dan rasa nasionalisme yang terpatri dalam denyutan nadi maka kita perlu untuk menyikapi problematika kebangsaan ini melalui spirit kekristenan sehingga kita tidak mudah terkooptasi dalam larutan pragmatisme perpolitikan pilres tersebut. Kekisruhan dalam pemilihan umum legislatif (Pileg) kemarin masih meresahkan rakyat, karena banyak warga negara yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya, namun pemerintah apatis dalam melihat hal ini seolah-olah rakyat hanya dijadikan sebagai ”sapi paron” yaitu ketika pesta demokrasi akan dimulai maka, para tim sukses tersebut melakukan manuvernya guna memenangkan salah satu kandidat atau Parpol tersebut dengan berbagai janji-janji palsu yang diuturakan, namun ”Membangun Indronesia Bersama Kasih” tidak mengenal janji-jani palsu, karena suara kenabian adalah suara firman kebenaran, bukan suara kebohongan (penghisapan) sehingga suara kenabian tersebut dapat menggetarkan roh-roh yang sedang bergentayangan yaitu roh perpolitikan yang sampai detik ini masih menjadi milik sekelompok golongan tertentu bukan menjadi milik komponen seluruh rakayt. Umat kristen selalu diidentikan dengan kelompok minoritas, padahal dalam amanat UUD 1945 tidak menyatakan kelompok minoritas dan kelompok mayoritas. Memang saat ini umat di Kristen khususnya berada pada persimpangan jalan, hal tersebut diakibatkan oleh masih ada pengkotak-kotakan dalam dedominasi gereja sendiri. Dalam beberapa bulan kedepan kita akan masuk pada pilpres yang dimana umat kristen harus menggunakan haknya untuk menentukan figur kepemimpinan bangsa dalam lima tahun kedepan penentuan figur bangsa kali adlah harus tepat dan komprehensif agar aspirasi umat kristen dapat dimobilisasi dengan elegan dan tanpa diskriminatif dalam rule of law.

C.        Menggalang Demokrasi Dan Demokratisisasi Dalam Batang Tubuh Umat Kristen
Proses depolitisasi dalam bangsa ini semakin mengantal dengan berbagai aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, mulai dari UU hingga pada PERPU. Rakyat dikelabui dengan berbagai tata cara dan mekanisme pencontrengan yang pada akhirnya hak rakyat hanya menjadi formalitas belaka, yaitu perubahan secara radikal dalam mekanisme dan tata cara Pemilu tersebut membingungkan rakyat sehingga hak-hak politik rakyat diabaikan, begitu juga dengan penetapan suara terbanyak dalam Pileg tersebut dirasakan kurang maksimal karena para caleg yang terpilih kali ini kebanyakan bukan berlatar belakang disiplin ilmu politik melainkan mereka-mereka yang bergerak dalam duni entertaiment. Penetapan Mahkama Konstitusi terkait dengan suara terbanayak tersebut bisa menimbulkan tindakan destruktif dari rakyat, karena para peserta calon legislatif, yang banyak terpilih kali ini adalah orang-orang yang masih minim dengan dunia perpolitikan kebanyakan adalah artis-arti (sudah terbiasa dengan kerja jangka pendek dan penghasilannya lumayan memuaskan), anak pejabat (sudah terbiasa dengan hidup yang serba instan), saudagar (sudah terbiasa dengan kerja didunia bisnis serta tidak memiliki waktu yang cukup lama untuk berdebat dalam mengambil suatu keputusan), dan pebisnis. kalau wajah-wajah baru yang duduk dalam senayan ini adalah mereka yang memiliki latar belakang pada dunia bisnis dan entertaiment bukan pada dunia perpolitikan maka kemungkinan besar bisa terjadi disintegrasi. Keputusan MK terkait dengan suara terbanyak ini bisa menjadi bumerang bagi para caleg sendiri, karena tugas seorang dewan adalah menyusun Regulasi, Bugdet, dan monitoring. Pertnyaannya adalah Bagaimana bisa mereka melakukan ketiga fungsi ini dengan latar belakang sebagai seorang entertaiment atau pebisnis? Begitu juga dengan penggelembungan suara yang terjadi didaerah Jatim, Nias, dan Papua. Dimana terjadi manipulatif dalam penghitungan suara maupun dalam hal pencontrengan, dimana rakyat dininabobokan dengan berbagai rule yang ada. Pemerintahan SBY-JK seharusnya bertanggungjawab dalam permaslahan DPT tersebut. Tragisnya lagi pemerintahan SBY-JK apatis dengan tindakan destruktif yang dilakukakan oleh KPU seolah-olah hal tersebut sudah hanya menjadi kesalahan KPU. Dalam menjalankan suatu pemerintahan tidak seharusnya kesalahan tersebut dilimpahkan kepada satu pihak, namun kesalahan tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah. Alkitab berkata bahwa ” Karena kamu telah berkata kami telah mengikat perjanjian dengan maut, dan dengan dunia maut kami telah mengadakan persetujuan, biarpun cemeti berdesak-desik dengan kerasnya, kami tidak akan kena, sebab kami telah membuat bohong sebagai perlindungan kami, dan dalam dusta kami meyembunyikan diri ” (Yesaya 28:15). Dalam negara manapun di dunia ketika Pilpres sudah diambang pintu maka negara tidak seharusnya mengeluarkan Perpu. Ini merupakan suatu kesalahan fatal yang dilakukan oleh pemerintah yaitu pemerintah terlalu berani mengambil sikap untuk mengeluarkan Perpu. Maka itu penting untuk ”Menggalang Demokrasi dan Demokratisasi Dalam Batang Tubuh Umat Kristen” sehingga umat kristen merasa sadar bahwa umat kristen juga adalah bagian integral dari negara kesatuan republik indonesia.

D.       Menerobos Sendi-Sendi Tapak Perpolitikan Kristen Di Indonesia
Negara Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan multikulturalisme, mulai dari Sabang - Marauke dan dari Nias - Rote. Namun dalam kontek keindonesiaan umat kristen selalu dipinggirkan baik itu dari segi kuantitas maupun segi kualitas. Stigmanisasi tersebut kian erat ditelinga kita maupun dalam perkataan, namun dalam konstitusi UUD 45 tidak mengenal adanya kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Pemilu 1955 partai kristen cukup disegani dalam kancah perpolitikan dan ketika Orde lama (Orla) ditumbangkan oleh rezim Ode baru (Orba) maka nama partai kristen mulai redup dari nusantara ini yaitu Rezim orba memperkecil ruang demokrasi dengan cara memangkas partai-partai yang waktu itu ikut berkompetisi dalam meriakan pesta demokrasi tersebut. Saat ini partai politik yang berideologi kristiani yaitu PKDI dan PKS namun kedua parpol tersebut tidak lolos dalam parlamenteryhold. Salah satu indikator dari ketidak lolosan dari kedua partai kristen tersebut adalah masih adanya pengkotak-kotakan dalam tubuh umat kristen. Sebagai umat kristen yang taat dengan alkitabiah maka kita harus satukan tali ”Kasih” perdaudaraan agar kita mampu bersaing dalam kancah perpolitikan dinegara ini. Kemajemukan tersebut merupakan solidaritas dari bhineka tunggal ika sebagai bagian integral dalam nilai-nilai kekristenan, guna menguak tabir kebisuan umat kristen saat ini maka kita (umat kriste) harus mampu ”Menerobos Sendi-sendi Tapak Perpolitikan Kristen di Indonesia” sehingga kita tidak terdikotomi dengan berbagai kejibakan yang mendistorsi akan hak-hak dan kewajiban orang kristen. Alkitab berkata ” sebab ada tertulis dalam Kitab Suci: ”Sesungguhnya, Aku meletakkan di Sion sebuah batu yang terpilih, sebuah batu penjuru yang mahal, dan siapa yang percaya kepada-Nya, tidak akan dipermalukan ”. (1 Petrus 2:6). Negara ini sangat senang melalukan pendistingsing akan ajaran aliran agama tertentu sedangkan dalam kontitusi negara harus menjamin keamanan dan ketertiban dari umat agama tertentu agar tidak terjadi konflik horizontal. Negara selalu melihat agama dari satu perspektif agama tertentu tanpa melihat dari latar belakang agama-agama lain. Hal ini seolah-olah mendapat tempat yang layak (pembenaran) akan salah satu agama sehingga nilai-nilai agama lain tidak dapat dimobilisasi secara universal. Dalam waktu dekat ini kita akan melaksanakan Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) pada 8 Juli nanti, namun proses depolitisasi dan proses deideologisasi kian menjadi suatu pendidikan politik yang akuntabel, rakyat dibodohi dengan berbagai macam cara guna mendapatkan reputasi dan kedudukan bagi segelintir orang. Apalagi agama dijadikan sebagai bahan komoditi guna mendapatkan kekuasaan, sehingga nilai-nilai agama-pun dibenarkan dalam proses deidelogisasi dalam negara ini. Agama bertujuan untuk membentuk moral umat sedangkan pendidikan bertujuan untuk membentuk intelektualitas individu, jadi poltik dan agama tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena politik juga adalah bagian dari pendidikan komunikasi, karena komunikasi mencerminkan moral seseorang sedangkan ilmu poltik menempatkan pada posisi mencari kekuasan dan ketika sudah mendapatkan kekuasaan tersebut maka kekuasaan itu harus dipertahankan.

E.     Membangun Pemerinthan Indonesia Yang Akuntabel
Negara merupakan bagian integral antara masyarakat dan sistem, kehadiran suatu negara bukan pemberian semata-mata, namun berkat ikhtiar yang keras dari rakyat. membagun negara yang akuntabel dibithkan jiwa ke-indonesian-an yang universal bukan pada tataran parial dengan mengatasnamakan rakyat karena rakyat merupakan subordinir dari suatu negara. Pilpres yang akan dilaksnakan pada 08 Juli nanti, akan memberikan begitu banyak gagasan alternative dari para kandidat Capres dan cawapres guna terwujudnya sistem yang berkeadilan dan mensejahterahkan rakyat. Lebih-lebih reformasi telah bergulir dalam satu decade ini namun proses depolitisasi kian terstruktur dengan sistematis, rakyat dijadikan sebagai obyek eksperimental dari berbagai kebijakan maupun janji-janji kampanye sehingga nilai-nilai hak asasi manusia terabaikan begitu saja. Negara selalu bangga dengan konsep demokrasi karena demokrasi yang dianut oleh negara Eropa berbeda dengan konsep demokrasi yang dianut oleh negara Indonesia yaitu konsep demokrasi dinegara Eropa adalah bentuk penggabungan dari sistem sosialis dan intisari dari sistem komunisme sedangkan konsep demokrasi yang dianut oleh negara Indonesia adalah konsep demokrasi tenokrat dan sangat paternalistic yaitu perputaran konsep demokrasi hanya bersifat paternalistik sehingga ruang demokrasi tidak terbuka lebar bagi birokrasi artinya esensi sistem pelayanan prima yang seharusnya menjadi tanggungjawab negara dalam memberikan pelayanan kepada rakyat tidak dapat terimplementasikan dengan optimal berupa Daftar Pemilh Tetap (DPT) yang sampai detik ini menjadi buah bibir permasalahan di mulut rakyat. Begitu juga dengan wajah-wajah baru yang akan duduk dalam parlamen nanti yaitu hampir 50% adalah mereka yang bukan berlatar belakang seorang politikus hal ini bisa menjadi boomerang bagi legislator yang baru tersebut. Begitu juga dengan para kandidat capres-cawapres yang akan berkompetisi pada pemilu kali ini yaitu dari tiga paket kandidat capres-cawapres tersebut adalah berlatar belakang militer yang dimana mereka pernah melakukan pelanggaran HAM berat. Artinya secara kontitusi maka ketiga capres-cawapres tersebut tidak bisa ikut berkompetis dalam merebut tampuk kepemimpinan RI 1 maupun RI 2 karena kedaulatan berada ditangan rakyat bukan ditangan tenokrat sesuai dengan UUD 1945 Bab 1 pasal 3 yaitu negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam Undang-Undang No.42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menegaskan pada Bab III bagian 1 tentang persyaratan capres-cawapres pada pasal 5 ayat c menyatakan bahwa tidak pernah menghianati negara, serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya. Melihat dari persyaratan tersebut maka, rakyat memilki hak untuk menggugat para kandidat-kandidat tersebut, untuk itu intensitas pemberdayaan politik dini kepada rakyat harus harus diejawantahkan secara konkrit kepada rakayat melalui aplikasi behavioralisme secara kontinu dan simultan sehingga muatan politik subtansial tersebut dapat dirasakan oleh seluruh komponen rakyat Indonesia. Muatan nilai-nilai politik tersebut berupa materi kampaye dari para kandidat capres-cawapres sesuai dengan amanah Undang-Undang No. 42 thun 2008 Bab VII tentang Kampanye bagian 1 pasal 33, bagian 2 pasal 37 ayta 1 berbunyi Materi Kompanye meliputi Visi, Misi, dan Program pasangan calon dan bagian 3 pasal 38 ayat 1 point g berbunyi debat pasangan calon tentang materi kampanye pasangan calon. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi distorsi kebijakan yang memarginalkan sesama warga neagra sesuai dengan Undang-Undang No.40 tahun 2008 tentang penghapusan Diskriminatif RAS dan ETNIS pada Bab VI tentang Hak, Kewajiban, dan Peran Serta Warga Negara pasal 9. Sehingga warga negara tidak mengalami keambiguan dalam mendapatkan informasi publik maupun informasi program dan kegiatan partai politik tersebut sesuai dengan Undang-Undang No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pada Bab IV tentang Informasi Yang Wajib Disediakan dan Diumumkan. Bagian 3 tentang Informasi Yang Wajib Tersedia Setiap Saat, pasal 15 point b bunyinya Program Umum dan Kegiatan Partai Politik dan point d bunyinya pengelolaan dan penggunaan dan yang bersumber dari APBN dan/atau APBD. Hal tersebut dilakukan agar warga negara mengetahui arti sesungguhnya kehadiran Partai Politik saat ini karena sebagai warga indonesia yang memiliki integritas dan nasionalisme yang tinggi, diwajibkan untuk mengetahui kahadiran partai-partai politik tersebut karena kita adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban untuk mengetahui dan mamahami kahadiran partai-partai tersebut sesuai dengan amanat Undang-Undang No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaran RI yang tertuang dalan Bab I Ketentuan Umum pasal 2 bunyinya Yang Menjadi Warga Negara Indonesia adalah Orang-orang Bangsa Indonesia Asli dan Orang-orang Bangsa Lain Yang di Sahkan Dengan Undang-Undang Sebagai Warga Negara. Melihat dari kebijakan-kebijakan tersebut, setidak-tidak kita diperhadapkan dengan berbagai tantangan yaitu ruang krstivitas individu dipolitisir dengan berbagai argumentatif dengan mengatasnamakan demokrasi dan HAM untuk kedaulatan negara, padahal UUD 1945 tidak mengutamakan kedaulatan negara namun UUD 1945 lebih mengutamakan kedaulatan rakyat karena negara yang berdaulat tersebut datang dari rakyat yaitu ketika kedaulatan rakyat diutamakan maka dengan sendirinya akan muncul akuntabilitas kedaulatan. Indonesia telah merdeka 63 namun kehidupan rakyat semakin dipenjara dengan berbagai sistem sehingga aspirasi rakyat tidak termobilisasi dengan signifikan melainkan penjajahan terebut datang dari negara berupa sistem yang tidak berpihak pada rakyat kecil, sistem tersebut dibuat untuk keamanan korporasi kaum-kaum kapitaslisme yang bersembunyi dibalik jubah ideology demokrasi. Penjajahan kolonialisme telah berlalu dari negara ini namun sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja kolonialisme tersebut telah berubah wujud menjadi globalisasi yaitu sistem penjajahan kolonialisme terkenal dengan penjajahan fisik sedangkan globalisasi adalah sistem penjajahan model baru yang menekankan pada penjajahan cultural atau penjajahan mental yaitu pemutarbalikan perubahan kultur dari etos kerja menjadi masyarakat kosumtif sehingga mentalitas dan pola berpikir masyarakat menjadi serba instan, pragmatis, hedonis dan snobis yaitu pergeseran masyarakat yang tadinya homo sosio menjadi masyarakat homo economic sehingga yang kaya menjadi lebih kaya dan yang miskin menjadi lebih miskin. Begitu juga dengan korporasi-korporasi asing yang berkembang diindonesia mulai dari pertambangan hingga pada biro jasa, semua lini strategis yang mendatangkan keuntungan bagi rakyat diserahkan kepada perusahaan asing, yaitu pemerintah selalu memakai andil dalam melegalkan segala macam cara dengan bahwa kurang sumber daya manusia (SDM) yang produktif. Alasan ini yang selalu dibenarkan oleh pemerintah untuk mencari citra dan reputasi dari rakyat, padahal banyak tenaga ahli yang profesional dalam bidang pertambangan maupun dalam bidang ekonomi. Mengapa pemerintah selalu tergantung pada IMF, Bank Dunia, WTO, CCGI, CGI, AFTA, OPEC dan sebagainya? Ada beberapa alasan dari pemerintah untuk melepaskan diri dari oragnisai-organisasi tersebut diatas yaitu: 1. karena pemerintah belum berani mengambil sikap untuk berdiri sendiri dalam kemandirian bangsa. 2. peluang KKN semakin kecil. 3. tender-tender proyek akan berkurang (mulai dari produksi-tiba ditangan konsumen). 4. kewibawaan pemerintah akan mengalami penurunan secara drastic. 5. penegakkan izin kontrak yang tidak akuntabel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar