WELCOME

” Blogger ini bukan merupakan forum penghakiman ataupun penuduhan. tetapi merupakan kesempatan proses pembelajaran strategis untuk mengasah dan membangun nalar yang konstruktif/kristis, kemampuan konseosi dan taktik belajar yang efektif

Kamis, 21 Oktober 2010

IMPERIALISME DAN KEBUDAYAAN


A.       Prolog
Di Satu pihak orientalis selalu dikaitkan dengan imperialisme. Dari kata imperial (empire) berarti kekaisaran, kerajaan, memerintah sehingga dalam arti umum juga berarti sistim politik untuk menguasai wilayah lain. Di pihak lain kolonialisme, tidak bisa dilepaskan dari orientalisme. Secara defenitif, seperti di singgung diatas, kolonialisme bersifat pendudukan secara langsung, lebih bersifat penjajahan fisikal, maka imperialisme dan orientalisme lebih bersifat penjajahan mental. Pada dasarnya dua betuk dominasi terakhir lebih berbahaya di bandingkan dengan kolonialisme itu sendiri. Pada dasarnya kolonialisme, imperialisme, dan orientalisme bersifat saling menopang, kolonialisme dan imperialisme di topang oleh imperialisme.

Gagasan orientalisme di kembangkan oleh Edward Said. Masalah pokok yang dianalisis adalah ketidakseimbangan Barat dalam melihat Timur. Orientalisme (dari kata Orient yang berarti Timur) dianggap sebagai narasi terbesar, bentuk khusus kolonialisme yang masih hidup hingga saat ini. Orang-orang yang menulis tentang bangsa Timur disebut Orientalis.

Dalam karya orang-orang inilah, baik sebagai peneliti, pengajar, penterjamah, maupu sebagai penulis asli, seperti karya fiksi, terkandung pandangan berat sebelah mengenai bangsa Timur, yan pada gilirannya dapat mempengaruhi sekaligus mentransformasikan sikap dan kebudayaannya. Jadi para ahli bangsa Timur tidak sama bahkan bertentangan dengan para sarjana kontemporer (postmodermis).berbeda dengan kaum postmodermis yang berjuang demi masyarakat secara universal demi masyarakat multikultural kaum orientalis meskipun menulis tentang bangsa Timur, tetapi berjuang demi kepentingan Barat. Dalam hubungan inilah orintalisme memiliki kedudukan dan nilai yang sama dengan postkolonialisme, bukan teori postkolonialisme. Edward Said selama berbicara mengenai teori postkolonial degan mengambil obyek oriental, termasuk kelompok postmodermis, bukan orientalis.

Di satu pihak dengan meminjam konsep discourse menurut proposisi Foucaldian, orientalisme adalah style Barat untuk menguasai Timur. Orintalisme disebut sebagai suatu disiplin yang sistimatis di mana budaya Barat mampu mengatur bahkan menciptakan Timur secara politis, sosiologis, militer, ideologis, saintifik, imajinatif, selama masa pasca pencerahan. Di pihak yang lain, dikaitkan dengan konsep hegemoni Gramscian, orintalisme memberikan ketahanan dan kekuatan. Dengan orientalisme Timur sejak dulu hingga sekarang tidak merupakan obyek pikiran yang bebas. Budaya Eropa justru memperoleh kekuatan, identitas dengan menyatakan dirinya kepada dunia Timur, sebagai diri yang terselubung.

Orientalisme adalah gaya berpikir yang di dasarkan atas perbedaan ontologis dan ipestemologis yang di buat antara Timur (the orient) dan Barat (The Occident), baik yag dilakukan oleh penyair, novelis, filsuf, politikus, ekonom maupun administratur, misionaris. Timur pada gilirannya bukan kenyataan yang asli, melainkan di buat oleh manusia sebab manusia membuat sejarahnya sendiri, Barat dan Timur seolah-olah merupakan ciptaan manusia. Sebagai kenyataan politik dan budaya, orientalisme bukan semata-mata pokok bahasan suatu ilmu pengetahuan, tetapi pnyebaran kesadaran geopolitis.

Dalam orientaslisme masyarakat yang terjajah digambarkan sebagai imperior, irasional dapat dikontrol, dan dapat di manipulasi oleh pihak yang dominan. Dalam karya sastra ditunjukkan melalui Rudyard Kipling, E.M. Forster, Joseph Conrad. Edward Said mendefinisikan orientalisme sebagai berikut :
1.     Tradisi klasik yang mempelajari suatu kawasan yang menggunakan cara-cara yang ada di kawasan tersebut. Oleh karena kawasan yang diteliti ada di belahan Timur maka disebut oriental sedangkan orangnya disebut orientalis.
2.   Gaya berpikir yang di dasarkan atas perbedaan ontologis epistemologis antara Timur (the orient) dan Barat (the occident).
3.    Selalu mengesampingkan Timur
4.   Institusi Korporasi yang berhubungan dengan Timur gaya Barat untuk mendominasi Timur.

Terlepas dari aspek-aspek negatif seperti di atas, kajian-kajian oriental menyediakan bahan-bahan yang sangat kaya, wacana etnologis yang berlimpah untuk diteliti. Sebagai hasil pemikiran para sarjana Barat, seperti dijelaskan di depan, naskah-nskah orientalis mengandung berbagai aspek yang pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui berbagai kelemahan dan kekuatan bangsa Timur, sehingga lebih mudah untuk di kuasai. Sebaliknya bagi para sarjana Timur disamping sebagai kontranarasi, yang juga penting adalah isinya sebab di dalamnya terkandung berbagai aspek kebudayaan, jadi sebagai obyek studi multikultural.

Kehadiran sastra dalam analisis postkolonial bukanlah secara kebetulan, bukan juga sebagai masalah yang dicari-cari. Sejak zaman Plato sastra di gunakan untuk menjembatani antara fakta dan fiksi, antara kenyataa dengan rekaan. Aristoteles memandang sastra sebagai katharsis, sarana yan berfungsi untuk mengantarkan manusia pada tingkat pemahaman yang lebih tinggi. Marxis memandang sastra penting dalam menyebarkan ideologi. Pengusiran pengarang di negara-negara komunis memperkuat asumsi bahwa satra merupakan medan pertarungan ideologi dalam rangka memperoleh hegemoni kelompok tertentu.

Hampir semua pendekatan posttrukturalis memanfaatkan sastra sebagai obyek studi yang sangat penting. Alasannya jelas, di satu pihak, sebagai subyek, karya sastra bukan fakta, karya sastra bekerja secara imajinatif, wacana di eksploitasi secara masksimal. Marginalitas oriental jauh lebih berhasil apabila di tanamkan melalui wacana literer di bandingkan dengan narasi ilmu pengetahuan. Di pihak yang lain sebagai obyek, melalui sistim simbol, sastra justru membongkar hubungan antara gejala-gejala yang tampak dengan yang tersembunyi yan dominan dengan marginal. Sastra dengan demikian merupakan perdebatan terbuka dalam kaitannya dengan ideologi dengan berbagai tujuan. Dalam hubungan ini justru sastralah, melalui kemampuan imajinatif, kreatifitas, yang memiliki hakikat obyektif. Karya-kasrya sastra dengan orientasi orientalis menunjukkan degan jelas bagaimana para pengarang Barat, dengan cara pandang Barat memanfaatkan kekuatan wacana sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan asosiasi tertentu mengenai bangsa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar