WELCOME

” Blogger ini bukan merupakan forum penghakiman ataupun penuduhan. tetapi merupakan kesempatan proses pembelajaran strategis untuk mengasah dan membangun nalar yang konstruktif/kristis, kemampuan konseosi dan taktik belajar yang efektif

Kamis, 21 Oktober 2010

KEBEBASAN BERAGAMA DALAM PENGALAMAN GEREJA BALI


Pendahuluan
Yang hendak dilihat dalam soal kebebasan beragama di sini adalah terbatas pada pengalaman perjumpaan antara anggota masyarakat Bali yang beragama Hindu dengan ke-Kristenan. Sengaja dikatakan “kekristenan” untuk menghindari percampuradukan dengan Injil, para pemberita Injil (Misionaris?), Gereja, Agama Kristen, karya Roh Kudus dan seterusnya, walaupun semuanya saling berkaitan.Tinjauan akan dibatasi pada persoalan, bagaiman reaksi masyarakat Bali yang beragama Hindu terhadap kekristenan, terutama sekali terhdap orang-orang Bali yang memilih untuk menjadi kristen. Hal-hal lain, apalagi yang menyangkut agama-agama lain, tidak akan disinggung, meskipun judulnya adalah “Kebebasan Beragama”.

Kebebasan beragama alam pengalaman sejarah rupanya sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sehingga tidak selamanya konsisten. Di Indonesia sendiri kita juga merasakan, kebebasan beragama pada jaman perjuangan merebut kemerdekaan, pada awal-awal pembentukan NKRI, zaman Orde Baru, pada zaman Reformasi, semuanya berbeda. Sehubungan dengan itu maka persoalan yang dihadapi dalam soal kebebasan beragama juga berbeda dari masa ke masa tetap tidak berubah. Seanalog dengan itu juga situasi, kondisi, dan makna kebebasan beragama dalam pengalaman Gereja Bali mangalami perkembangan.
Karena itu rasanya perlu untuk melihat situasi dan kondisi kebebasan beragama dalam konteks tertentu dan dalam kurun waktu tertentu. Untuk mudahnya kita membagi menjadi 4 (empat) masa yaitu:
I.               Masa Misionaris
II.            Masa Permulaan Gereja
III.          Masa Pembangunan Nasional
IV.         Masa Reformasi dan Otonomi Daerah
V.            Penutup

I.         Masa Misionaris
Dengan sebutan “misionaris” bayangkan kita pada umumnya adalah orang asing, kulit putih, hidung mancung, terutama orang Eropa atau Amerika. Untuk di Bali masa misionaris ini terjadi ketika Indonesia masih dijajah Belanda. Jadi orang kristen pada waktu itu hampir identik dengan orang Belanda atau bangsa penjajah. Kita dapat membayangkan ketika kristen dipandang sebagai “Agama Penjajah”, bagaiman sikap oranbg-orang yang dijajah terhadap agama si penjajah. Meskipun disini kita harus hati-hati dalam mengambil kesimpulan. Sebab penjajah yang satu juga tidak sama dengan penjajah yang lain. Inggris misalnya, dikanal sebagai penjajah yang baik, karena mereka berusaha mambangun bangsa yang dijajahnya. Bagaimana dengan belanda? Kita tidak bermaksud mengadakan penilaian, tetapi pada umumnya yang namanya penjajah (sekali lagi dengan hati-hati) tidak akan menempatkan diri setara dengan yang dijajah. Lalu apakah kondisi seperti ini akan baik bagi kekristenan? Seandainya ada orang Bali yang menjadi kristen dalam kondisi seperti ini, tentu orang akan meragukan motivasinya. Setidaknya oleh lingkungannya akan dilirik dengan pandangan yang tidak simpatik. Tetapi dari segi kebebasan beragama soalnya agak lain. Orang yang menjadi kristen itu pasti akan dibela dan dilindungi oleh para misionaris yang nota bene posisi sosialnya lebih baik daripada bangsa yang dijajah.

Bagaimana dengan pengalaman di Bali? Apakah usaha para mesionaris mendapat tanggapan positif dari pihak orang Bali? Untuk itu kita melihat sepintas pengalaman sejarah.
1.     Pada tahun 1633, Hendrik Brouwer, Gubernur Jendral VOC, mengirim utusan ke Bali dengan maksud mengajak Raja Gelgel untuk memerangi kejahatan Mataram. Bersama mereka juga ikut seorang misionaris yang bernama Justus Heurnius yang mempunyai misi sendiri yaitu ingin melihat kemungkinan memberitkan Injil di Bali. Menurut dia, sangat memerlukan pengaruh moral yang baik. Namun seruannya ini seakan tidak mendapat tanggapan, sebab hampir 200 tahun seelah itu, tidak terdengar adanya kegiatan penginjilan di Bali.
2.   Baru kemudian pada tahun 1829, Welter Henry Medurst, missionaris yang bertugas di Batavia tahun 1822-1842, datang berkunjung ke Bali. Ia menapat kesan yang mirip dengan Heurnius, bahkan lebih parah lagi. Menurut dia, moral orang Bali begitu bobroknya hampir sampai seerti binatang. Kebobrokan moral inilah yang ia pakai alasan untuk menganjurkan agar PI di Bali segera dimulai. Setelah itu masih ada lagi seorang missionaris Inggris, yang bernama Ennis datang ke Bali pada tahun 1838, tetapi juga tanpa kelanjutan.
3.    Kemudian Baron van Hoevell, seorang pendeta dan politikus dari kelompok leberal, menulis sebuah brosur yang sangat simpatik, dengan judul: “Nedeland en Bali: Eene stem uit Indie tot het Nederlandsche Volk” pada tahun 1846. dia menganjrukan sebuah pendekatan yang oleh Hendrik Kraemer disebut hyper modren. Sebab ia membayangkan kekristenan yang lain dari biasa, yaitu orang Bali yang menyembah Yesus tanpa megubah tempat maupun cara sembayang mereka.
4.   Sebagai jawaban terhadap seruan itu, Badan Misi Utrecht (UZV), bekerjasama dengan Lembaga Alkitab Belanda (NGB) mengontrak H.N Van der Tuuk, seorang ahli bahasa, pada tahun 1861 dengan tugas menerjemahkan Alkitab kedalam bahasa Bali. Setelah lancar berbahasa Bali, Van der Tuuk datang ke Bali pada tahun 1870. Namun setelah tiga tahun bekerja, dia membatalakan kontraknya, lalu bekeja bagi pemerintah Belanda dalam studi tentang bahasa Bali dan Jawa kuno.
5.    kontrak dengan Van der Tuuk diikuti dengan penugasan kepada W. Van der Jagt pada tahun 1863. Van der Jagt langsung datang ke Bali paa tahun 1864 dan mulai pekerjaannya dengan mempelajari bahasa dan adat istiadat Bali. Dia melakukan tugasnya dengan sangat baik, bersahabat dengan keluarga Raja di Singaraja, sehingga ia disediakan tanah untuk membangun Gereja dan Sekolah. Sayang dia hanya dapat melakukannya tugasnya selama dua tahun. Dia harus pulang ke negerinya pada tahun 1866 karena sakit. Tentu dalam waktu dua tahun itu belum banyak yang dapat dia lakukan.
6.    W. Va der jagt diikuti oleh R. Van Eck yang datang di Bali Mei 1866, kemudian Jacob de Vroom Nopembr 1866. Van Eck adalah seorang ahli Ethnologi, sesangkan de Vroom lebih dikenal sebagai seorang dokter. Dari kerja keras mereka berdua ini, behasil dibaptis seorang Bali yang bernama I Gusti Wayan Karangasem pada thun 1873. Pada tahun 1875 Van Eck harus kembali kenegerinya karena sakit. Tinggallah de Vroom sendirian dan tidak pernah sempat pulang lagi karena pada tahun 1881 ia ia dibunuh oleh pembantunya sendiri atas suruhan I Gusti Wayan Karangasem.
7.    Melihat sejaraha Pekabaran Injil di Bali yang seperti itu, maka sejak 1981 tidak terdengar lagi kegiatan PI di Bali, sampai pada tahun 1930, ketika Tsang Kam Foek (belakang, setelah ditahbiskan menjadi pendeta namanya diganti menjadi Tsang To Hang) mendapat ijin untuk bekerja di Bali melayani beberapa keluarga Cina yang beragama Kristen. Melalui mereka ini Tsang mendapat kontak dengan orang Bali yang masih ada hubungan keluarga (melalui perkawinan) dengan mereka. Dalam waktu yang relatif singkat Tsang behasil membaptis 12 orang Bali (seorang Ibu dan 11 orang laki-laki) Nopember 1931, disebuah sungai kecil yang teletak di desa Dalung. Dan tahun berikutnya sudah tecatat 300 orang Bali yang sudah menjadi Kristen.
Tentu peristiwa ini sangat mengejutkan, sebab para Messionaris Belanda bekerja dengan sangat hati-hati, dengan mempelajari bahasa dan adat istiadat, melakukan pelayanan sosial seperti Balai Pengobatan dan Sekolah, bekerja ratusan tahun, tidak menghasilkan apa-apa, bahkan berakhir dengan tragis. Sedangkan Tsang To Hang, tidak mengeti bahasa dan tata krama Bali, bahasa Melayu pun sangat terbatas, namun dala waktu dua tahun sudah membaptis 300 orang.

Di mana sebetulnya letak kunci? Jika bertanya kepada orang-orang yang mendengarkan Tsang To Hang secara langsung waktu itu, jawaban mereka sederhana sekali. Mereka merasakan ada kuasa yang menyertai Tsang To Hang, sehingga banyak mujizat terjadi. Banyak orang sakit di sembuhkan, kuasa-kuasa gelap dikalahkan, bahkan orang mati dihidupkan. Namun jika kita mencoba memahaminya secara nalar sederhana, rupanya kekristenan yang dipandang sebagai “Agama Penjajah” itu telah menjadi penghalang besar bagi orang Bali untuk menjadi Kristen. Dilihat ari segi kebebasan beragama, justru orang yang mau menjadi Kristen pada waktu itu akan mendapat perlindungan dan bahkan previlage.

Namun mengapa justru tidak ada yang mau menjadi Kristen dalam kondisi seperti itu? Mungkin ini jawabannya: Sesungguhnya yang dicari adalah kebebasan batiniah. Bukan kebebasan lahiriah. Meskipun yang terbaik adalah jika keduanya terpenuhi. Tetapi kalau secara lahiriah mendapat previlage, namun tidak memberikan ketenangan batin; apa gunanya? Memeluk “Agama Penjajah” tentu bukan tindakan terpuji.

II.       Masa Permulaan Gereja
Gereja Bali (Gereja Kristen Protestan di Bali) baru diakui secara resmi gereja pada tanggal 11 Agustus 1949 sesuai Staatsblad No. 214, yang menyatakan bahwa “ Geredja Kristen Protestan Bali” diakui sebagai gereja dengan tempat kedudukan di Blimbingsari, satu-satunya desa Kristen di Bali, yang terletak di Taman Nasional Bali Barat. Namun Gereja Bali sendiri menetapkan tanggal 11 Nopember 1931 sebagai hari jadinya berdasarkan tanggal baptisan 12 orang Bali di tukad Yeh Poh, dekat Untal-Untal, Dalung. Ke 12 orang tersebut inilah yang kemudian menjadi cikal bakal gereja Bali.

Jika kita melihat kepada peristiwa sejarah pengalaman dari generasi pertama orang-orang Kristen di Bali ini, maka kesan yang kita dapt adalah orang-orang Kristen Bali pada waktu itu dikucilkan, disiksa dan dianiyaya oleh masyarakat setempat. Sawah mereka tidak diberi air, kalau mereka mau belanja diwarung, tidak mau dilayani. Dikalangan masyarakat desa dibuat peraturan yang isinya melarang warga yang beragama Hindu berbicara dengan mereka yang sudah menjadi Kristen. Kalau ada yang berbicara dengan orang-orang yang sudah menjai Kristen, dikenakan denda yang cukup tinggi. Ketika seorang Kristen meninggal dunia, tidak diijinkan untuk menguburkan. Bahkan jenazah anggota keluarga mereka yang telah meninggal sebelumnya dan sudah dikuburkan, dibongkar oleh orang banyak yang juga datang dari desa-desa lain dan dibuang di halaman rumah mereka. Ketika mereka mencoba membakar jenazah itu di halaman rumah mereka, orang banyak datang dan menyiram dengan air. Sampai kemudian jenazah itu terpaksa digantung di sebuah pohon mangga di halaman rumah sehinga bau busuk menyengat sangat mengganggu penduduk desa. Karena meeka sendiri tidak tahan akan bau busuk itu, akhirnya diijinkan untuk mengubur lagi di tanah kuburan.

Peristiwa ini tejadi di desa Plambingan, Canggu, yang dialami langsung oleh Made Rungu, yang menjadi Kristen dan dibaptis pada hari Paskah 1932, yang kemudian ditahbiskan kedalam jabatan pendeta oleh GKJW di Mojowarno pada tahun 1943. Bersama teman-temannya yang telah menjadi Kristen di desa itu ia terus mendapat tekanan dari warga desa yang beragama Hindu. Mereka yang telah menjadi Kristen itu menghadapi kenyataan pahit itu dengan penuh kesabaran. Entah dari mana mereka mendapat kekuatan untuk bertahan dalam situasi dan kondisi yang seperti itu. Made Rungu yang sebelumnya dikenal sebagai preman yang sangat ditakuti, setelah menjadi kristen malah memimpin saudara-saudaranya untuk tetap bersabar dan mengalah tetapi tetap penuh keberanian. Prinsip yang ia pegang adalah: Mati di dalam Kristus adalah keuntungan, sebab akan langsung bertemu dengan Allah Bapa yang penuh kasih.

Ketika orang-orang sekampungnya menutup segala komunikasi dengan orang Kristen, dia malah sengaja jalan-jalan dan menyapa setiap orang yang dijumpainya. Kalau orang itu tidak mau menjawab,tangan orang itu dipegang dan diajak bicara dengan ramah sehingga mereka terpaksa menjawab juga. Lama-kelamaan orang-orang sekampungnyajuga merasa rugi sendiri karena mereka harus membayar denda gara-gara berbicara dengan orang Kristen. Selanjutnya melihat perubahan pada sikap hidup Made Rungu yang ketika belum menjadi Kristen suka bikin onar, menantang orang untuk berkelahi dsb; setelah menjadi Kristen malah ramah dan tetap menyapa orang yang membuang muka darinya, orang-orang sekampungnya menjadi simpati terhadapnya dan tidak lama kemudian dia diangkat menjadi kelian suka-duka; yang melibatkan baik yang beragama Hindu maupun yang beragama Kristen.

Ketika ditanya apa sebabnya ia menjadi Kristen, Made Rungu yang mantan preman itu menjawab dengan singkat: “Karena saya marah!” marah kepada siapa? Marah kepada “Tuhan”. Menurut dia “Tuhan” yang ia sembah pada waktu itu tidak berpihak kepadanya. Kewajiban-kewajiban sebagai warga masyarakat yang beragama Hindu dirasanya sangat memberatkan. Apalagi setelah ayahnya meniggal dunia, ia harus memikul kewajiban ayahnya disamping kewajibannya sendiri. Jadi kewajiban yang sudah terlalu berat itu ditambahkan satu lagi sehingga menjadi belipat ganda. Kemudian Ibunya kawin lagi. Tetapi tidak lama kemudian ayah tirinya pun meninggal juga. Kewajiban ayah tirinya yang telah meninggal itu dibebankan kepadanya. “saya hanya mempunyai dua bahu, bagaiman saya dapat memikul tiga beban?” demikian keluhnya. Dia merasa bahwa “Tuha” tidak adil. Sebagai tanda protes, ia memberi nama adiknya (anak dari ayah tirinya) “kafir”. Ia suka menatang orang bahkan menantang “Tuhan”-nya dengan merusak tempat-tempat pemujaan yang dianggap keramat. Dalam kegalauan hidupnya seperti itu ia mendengar tentang Tuhan yang berbelas kasihan, Tuhan yang mengorbankan diri-Nya sendiri untuk menyelamatkan manusia, Tuhan yang memanggil orang-orang yang berbeban berat untuk diberi kelegaan / peristirahatan / hidup yang kekal. Tuhan yang seperti itulah yang di dambakan. Dan ia telah menemukannya pada Tuhan Yesus.

Namun tidak selalu tantangan berat seperti itu bermuara pada “happy and”. Seperti contoh yang tejadi di madangan, Gianyar, misalnya. Pada awal tahun empat puluhan orang-orang kristen di sana diultimatum oleh masyarakat di sekitar mereka. Dalam waktu 2x24 jam mereka harus menentukan sikap. Mereka harus memilih dua kemungkinan saja. Meningglkan agama Kristen dan kembali ke Hindu untuk tetap diterima sebagai warga, atau tetap bertahan sebagai orang Kristen dengan resiko kehilangan segala hak mereka. Setelah batas waktu yang dibeikan itu habis, orang-orang Kristen itu tetap tidak mau meninggalkan Agama mereka. Tengah malam mereka dipaksa meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka. Rumah-rumah mereka dihancurkan dan dibakar, sehingga mereka terpaksa pergi meningglkan kampung halaman mereka pada malam itu juga dengan berjalan kaki ke Carangsari, mencari sanak saudara dan kenalan meeka disana. Dari Carangsari mereka kemudian melanjutkan perjalanan mereka dengan berjalan kaki menyusuri pantai selatan kearah barat. Setelah berjalan selama tiga hari tiga malam, mereka tiba disebuah desa di jembrana, desa Kristen yang ketika itu baru berumur 2 (dua) tahun, yaitu desa Blimbingsari, untuk kemudian menetap disana.

Jadi pada tahun-tahun pemulaan dari Gereja Bali, orang-orang Kristen di Bali benar-benar hidup dalam penganiayaan, sehingga banyak orang, terutama kalangan atas, pada waktu itu berpikir bahwa orang-orang Bali hanya dapat hidup dalam masyarakat yang homogen. Karena itulah muncul pemikiran untuk mengumpulkan orang-orang Bali Kristen di suatu tempat sehingga di situ mereka dapat menjalankan ibadah mereka dengan bebas, tanpa dihalang-halangi oleh orang lain. Itulah latar belakang terbentuknya sebuah desa Kristen di Bali Barat yang bernama Blimbingsari.

Tetapi benarkah orang Bali hanya dapat hidup dalam masyarakat homogen? Sebenarnya pesoalannya cukup sederhana. Setiap kali sesuat yang baru muncul, pasti ada perlawanan. Masyaakat Bali pada waktu itu dapat dikatakan terkejut dan belum siap menghadapi heterogenitas. Mereka biasa hidup dalam sebuah masyarakat yang homogen. Setidak-tidaknya suku, bahasa, adat dan agama mereka sama. Jika tiba-tiba ada di antara mereka memeluk agama lain, dapat dibayangkan kalau mereka menjadi panik, sebab kebiasaan-kebiasaan dan aturan-aturan selama ini telah berjalan dengan baik, tidak akan berfungsi lagi. Meraka sudah menjadi Kristen pasti tidak akan bersedia menjalankan kewajiban-kewajiban Agama Hindu. Mereka pasti tidak mau lagi menyembah Dewa-Dewa di Pura. Mereka pasti juga tidak akan mau diajak bekerja untuk memelihara tempat-tempat suci Agama Hindu. Semua ini akan menimbulkan masalah besar, sebab kegiatan bermasyarakat di Bali sebagian besar barkaitan dengan Agama Hindu. Dari pada menjadi masalah, lebih baik mereka di usir saja. Aman!

Kita harus tahu bahwa dalam kamus orang non Kristen tidak ada pengertian bahwa seseorang menjadi Kristen karena percaya akan panggilan Tuhan. Paling-paling itu di anggap sebagai sensasi saja. Atau tindakan konyol yang tidak pantas untuk dihargai. Karena itu perpindahan Agama itu dirasa sebagai suatu penghinaan terhadap leluhur yang telah mewariskan Tradisi (termasuk Agama) itu selama bertahun-tahun kepada anak cucu mereka. Apalagi orang-orang yang sudah menjadi Kristen itu tidak mau lagi memuja roh-roh leluhur mereka. Jadi tidak pantas lagi mereka menuntut hak.

Menghadapi situasi seperti ini memang diperlukan kesabaran yang cukup aktif.sabar dalam arti berusaha mengerti, mengapa reaksi mereka terhadap orang-orang yang pinah Agama dan menjadi Kristen kok seperti itu. Aktif dalam arti terus menerus berusaha menjelaskan kepada mereka bahwa menjadi Kristen itu bukan sekedar sensasi atau karena kurang menghargai budaya Bal, lebih-lebih lagi bukan karena tidak hormat kepada leluhur. Menjadi Kristen karena memang di panggil dan ditentukan oleh Tuhan seperti itu sehingga kita tidak boleh menolaknya. Tuhan ingin kita hidup dalam harmoni, saling menghargai satu dengan yang lain. Usaha itu harus terus-menerus dilakukan agar pada akhirnya menjadi suatu pengertian bahwa memeluk suatu Agama seharusnya tidak didasarkan atas tradisi atau warisan tetapi atas dasar pilihan pribadi dengan penuh kesadaran karena keyakinan iman. Agama bukanlah sekedar kebiasaan melainkan kesadaran iman. Karena itu Agama bukanlah warisan melainkan pilihan yang sifatnya sangat pribadi sehingga kebebasan untuk menetukan pilihan Agama itu harus dilindungi sebagai hak yang paling hakiki dari manusia.

III.     Masa Pembangunan Nasional
Pada masa Pembanguna Nasional, terutama pada aman Orde Baru, pemerintah turut aktif dalam pembangunan spiritual, mengambil bagian dalam kengusahakan kerukunan hidup antar umat baragama, bahkan tidak jarang juga mengeluarkan peraturan-peraturan yang dimaksudkan untuk menghindari benturan-benturan dalam enjalankan kebebasan beragama. SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negari No. 01 tahun tahun 1969 misalnya dimaksudkan untuk menjaga kerukunan antar umat beragama dengan antara lain melarang mengagamakan orang yang sudah beragama. Entah sengaja atau tidak, ini kemudian diartikan sebagai larang berpindah Agama yang pada dasarnya malah membatasi atau bahkan mengebiri kebebasan beragama itu sendiri.

SKB itu dijadikan dasar dan alat pembenar untuk membatasi hak azasi orang alam menentukan pilihan secara pribadi atas apa yang diyakiniya. Dengan mengklaim bahwa mereka mengamankan SKB itu, mereka menganiaya orang-orang yang dengan kesadaran penuh memilih untuk menganut Agama yang (menurut keyakinannya) memberi jaminan keselamatan jiwa. Ada banyak contoh peristiwa yang mirip seperti yang terjadi di Madangan, terjadi juga ditempat-tempat lainnya di Bali. Peristiwa yang terjadi dulu, pada waktu Indonesia belum medeka, terjadi lagi di tahun dua ribuan. Ambillah sebagai contoh, seperti misalnya yang terjadi di desa Ketongan, Tabanan. Di situ ada empat keluarga yang memilih untuk menjadi Kristen. Nasib mereka hampir sama dengan mereka yang di Madangan pada aal tahun empat puluhan. Mereka juga dipaksa meningglkan kampung halaman mereka sehingga Gereja Bali harus memantu mereka dengan memberi tempat itnggal sementara.

Kita semua terkejut, kok di dalam masyarakat modern seperti sekarang ini masih terjadi hal-hal seperti itu. Namun rupanya yang harus kita perhatikan bukanlah peristiwanya sendiri, tetapi latar belakang dari peristiwa itu. Sebab yang kita inginkan adalah mencari jalan keluar, bukan sekedar membeberkan kejadian-kejadian yang dapat mempengaruhi emosi kita. Untuk itu perlu kita pahami situasi dan kondisinya terlebih dahulu, terutama sekali latar belakang budaya yang memang sangat gampang menyentuh emosi.

Persoalannya adalah: Apa yang sebenarnya kita maksud dengan kebebasan beragama. Jika yang kita maksud dengan “kebebasan beragama” adalah terbatas pada kebebasan dalam menjalankan ibadah (tidak termaksud kebebasan untuk pindah Agama) di daerah Bali mungkin belum menjadi suatu masalah yang layak untuk didiskusikan, sebab masyaakat di Bali tidak akan pernah menghalangi orang yang beribadah, apapun agamanya. Malah sebaliknya, mereka akan mendukung siapa saja yang mau beribadah kepada Tuhan, apalagi kalau berdoa untuk Bali. Masyarakat Bali sangat toleran dalam pergaulan dengan orang yang beragama lain. Katakanlah misalnya seorang dari suku lain tinggal di Bali dan beragama non Hindu. Bagi masyarakat Bali itu sangat wajar. Tidak pernah terpikir oleh mereka bahwa suatu saat anti orang ini akan meninggalkan Agamanya dan memeluk Agama Hindu.

Pada umumnya orang Bali berpikir bahwa Agama adalah sesuatu yang dibawah sejak lahir sehingga harus dipelihara dan dibawah mati. Karena itu, meningglkan Agama yang danut sejak lahir itu, justru akan dianggap sebagai sesuatu yang tercela. Itulah sebabnya bagi orang Bali sama sekali tiak masalah untuk bergaul dengan orang non Bali yang dengan sendirinya juga beragama non Hindu. Sudah sewajarnya orang yang non Bali itu juga non-Hindu. Bahkan mereka justru cenderung akan membantu orang non Bali yang non Hindu itu untuk dapat melaksanakan kewajiban Agamanya. Konsekwensi logisnya adalah sangat sulit bagi mereka untuk dapat menerima orang Bali yang beragama non Hindu. Orang ini pastilah telah meninggalkan Agama yang telah dianutnya sejak lahir. Orang semacam ini adalah orang yang tidak menerima kodrat, yang sama artinya dengan menghujat dan karena itu tidak patut dikasihani. Propoganda Agama dengan menganjurkan orang untuk meninggalkan Agamanya dan memeluk Agama lain adalah tindakan tercela. Itu adalah tindakan mengagamakan orang yang sudah beragama dan karena itu harus dilarang. Demikian pengertian mereka.

Jadi orang Bali mengartikan “kebebasan beragama” itu sebagai kebebasan menjalankan kewajiban Agama, tidak termasuk kebenasan untuk memilih dan memeluk Agama berdasarkan keyakinannya. Sebab tiap orang lahir dalam satu keluarga yang sudah memeluk satu agama tertentu. Jadi seharusnya masing-masing setia kepada Agamanya, di mana ia terlahir. Pindah agama, sekali lagi, akan dilihat sebagai tindakan tercela, yang sering kali diungkapkan sebagai guak nguntung taluh (burung gagak yang meninggalkan telurnya). Kalau burung itu sudah meninggalkan telurnya maka ia sudah tidak punya hak apa-apa lagi terhadap telur yang sudah ia tinggalkan. Artinya, orang yang meninggalkan Agamanya berarti melepaskan segala hak nya atas milik-milik keluarga. Karena itulah pada umumnya orang yang meninggalkan Agamatidak akan diperhitungkan dalam pembagian warisan keluarga, bahkan tidak jarang juga di usir dari rumahnya dan dianggap sudah mati.

Namun demikian, pindah Agama itu juga dimungkinkan melalui suatu pernikahan. Hanya saja ada perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan. Jika seorang perempuan yang beragama Hindu kawin dengan seorang laki-laki non Hindu, maka akan di anggap sangat wajar jika perempuan itu meninggalkan Agamanya dan memeluk agama sang suami. Untuk perpindahan Agama itu diadakan upacara Agama yang disebut Memapi (mohon diri). Orang yang akan meninggalkan Agamanya itu mohon diri secara baik-baik kepada leluhurnya, bahwa ia tidak lagi akan datang ke tmpat pemujaan keluarga itu untuk berbakti, karena ia akan mengikuti Agama suaminya. Pindah Agama dengan cara-cara seperti ini dipandang sebagai sesuatu yang mulia, tindakan seorang perempuan yang bijaksana dan rendah hati, yang mau mengalah terhadap suami, berkorban demi sang suami.

Sebaliknya, jika seorang laki-laki yang beragama Hindu, kawin dengan seorang perempuan yang beragama non Hindu, dengan sendirinya dianggap wajar adalah perempuan yang non Hindu itu meninggalkan Agamanya dan memeluk Agama Hindu (Agama suaminya). Jika perempuan ini tidak bersedia meninggalkan agamanya untuk bergabung dan menjadi se-Agama dengan suaminya. Perempuan itu dianggap tidak bijaksana atau sombong. Karena itu biasanya perempuan yang demikian akan tersish dalam pergaulan keluarga. Namun seandainya sang suami meninggalkan Agamanya dan memeluk Agama yang dianut oleh isterinya, maka laki-laki itu dapat disebut paid bangkung (terseret oleh babi betina). Dapat dibayangkan betapa hinanya seorang suami yang demikian di mata orang Bali. Lalaki semacam itu dianggap laki-laki lemah dan karena itu tidak berharga.

Namun dilain pihak dapat kita bayangkan, betapa berani dan tegarnya seorang Bali laki-laki yang beani mengambil keputusan dan melangkah meninggalkan Agama dan memeluk Agama yang dianut oleh isterinya. Ia telah berani menanggung resiko yang terlalu berat. Semua mata akan tertuju kepadanya dengan pandangan yang sangat sinis, penuh ejekan dan hinaan. Sanak saudaranya akan merasa sangat malu dan terhina mempunyai saudara semacam itu. Biasanya mereka lalu menghindar dan tidak mau bertemu, atau sengaja menemuinya untuk mencaci maki. Orang tuanya akan sangat marah dan menyesal telah melahirkan dia. Kalau orang seperti itu masih berani pulang ke kkampungnya dan bertemu dengan sanak saudaranya, apalagi dengan ayahnya, orang itu sama dengan orang yang berani masuk kandang singa.

Ternyata ada juga orang yang berani melakoni hal semacam ini. Seorang seniman yang multi talent bernama Nyoman Darsane. Tentu bagi seorang seniman, di samping beban di atas, masih ada beban lain lagi, yang justru menjadi dambaan para seniman pada umumnya, yaitu soal popularitas. Berani mengambil langkah itu berarti kehilangan masa depan sebagai seorang seniman. Di mata banyak orang, ada noda hitam dalam hidupnya yang menghalangi dia dapat tampil dengan leluasa dalam persaingan meraih popularitas. Artinya, dia pasti kehilangan segalanya. Semua ini didasari sejak awal. Tetapi ia tetap berani menjalaninya. Apakah saking cintanya terhadap isterinya sehingga dia berani kehilangan segalanya? Dibuang oleh orang tua dan sanak saudara, dihina dan dibenci oleh teman-teman dan orang-orang sekampung, kehilangan kesempatan mengembangkan karier dst? Benar itu? Benarkah bahwa dalam cinta terhadap sang isteri yang menjadi penyebabnya?

Ternyata bukan itu. Ia berani mengambil langkah itu karena ia mencari ketenagan jiwa. Ia menemukan dirinya sebagai orang yang dicintai oleh Tuhan ketika ia berjumpa secara pribadi dengan Tuhan Yesus dalam pergumulan batinnya. Sejak itu dia merasa tidak tenang jika ia tidak berani dengan terus terang mengikuti Tuhan Yesus. Melalui buku-buku yang dibacanya, melalui perenungan secara pribadi, terutama sekali ketika dia menyalami keberadaan dirinya sendiri, ia menemukan sesuatu yang sangat berharga bagi dirinya. Ia menemukan bahwa Tuhan Yesus telah bersedia menanggung kesengsaraan, dihina, diludahi, dianiaya sampai mati agar yang namanya Nyoman Darsane itu hidup dan mewarisi kehidupan yang kekal. “Kalau TuhanYesus telah berbuat seperti itu bagi saya, apakah pantas kalau saya masih ragu untuk berkorban demi mengikuti Dia?” Demikian Nyoman Darsane.

Pergumulan batin dalam proses yang panjang dan sangat berat seperti itu tidak diketahui oleh orang lain. Orang mengira dan menyimpulkan bahwa dia menjadi Kristen (maaf) karena perempuan. Perempuan yang dimaksud adalah isterinya. Karena dugaan yang salah ini, terjadilah sikap yang seperti itu. Jadi persoalannya adalah kesalapahaman. Seandainya saja orang tahu bahwa ia menjadi kristen karena panggilan Tuhan, tentu mereka juga akan bersikap lain. Buktinya, setelah Nyoman Darsane bertemu dengan ayahnya dan terlibat dalam percakapan mendalam dari hati ke hati, sang ayah akhirnya mengacungkan jempol kepadanya, dan merasa bangga bahwa anaknya bukanlah seorang pengecut dan tidak punya harga diri seperti yang disangka oleh banyak orang. Ternyata anaknya adalah seorang pemberani yang berani melawan arus yang begitu kuat demi mempertahankan apa yang diyakini sebagai suatu kebenaran.

Jadi sekali lagi, pesoalannya adalah kurang pengertian atau kesalahpahaman. Karena itu yang harus selalu diusahakan dalam memberikan pemahaman yang benar kepada meraka yang belum tahu atau salah mengerti. Agar orang bisa mengerti, harus ada kesediaan untuk mengerti. Kalau orang tidak mau tahu tentu dia tidak pernah akan tahu. Seperti pepatah mengatakan, tidak ada orang yang lebih bodoh dari pada orang yang tidak tahu. Karena itu harus diupayakan telebih dahulu agar orang bersedia atau mau. Selama kesediaan itu belum ada, apa-pun yang dibuat tidak akan ada hasilnya. Harus diciptakan suasana di mana orang besedia mendengar. Agar orang bersedia mendengar dan mengerti kita, kitalah yang terlebih dahulu harus bersedia mendengar dan mengerti mereka. Di sini dituntut kepekaan dari kita sendiri. Umumnya orang hanya menuntut untuk di mengerti oleh orang lain, tetapi dia sendiri tidak mau mengerti orang lain.

Jadi yang haus diciptakan adalah suasana di mana masing-masing pihak bersedia dan mau mendengar. Orang akan bersedia dan mau mendengar kalau mereka percaya bahwa yang akan ia dengar itu adalah sesuatu yang benar, yang jujur, bukan sesuatu yang palsu ataupun tipuan. Selama masih ada curiga dari sala satu pihak (apalagi semuanya saling mencurigai) kesalahpahaman itu tidak akan pernah teratasi. Dan selama kesalahpahaman itu masih ada, selama itu masalah tidak akan terselesaikan. Untuk itu perlu dibangun jembatan kepercayaan (bridge of trust). Masing-masing pihak harus dapat mempercayai bahwa pihak lain tidak bermaksud jahat atau mempunyai hidden agenda. Masing-masing pihak harus mengupayakan dirinya sedemikian rupa, engan penuh kejujuran bahwa dia dapat dipecaya. Yang satu ini memerlukan waktu dan kesabaran yang luar biasa. Sebab kadang-kadang usaha yang tulus dan jujur pun masih dicurigai juga. Bila pihak lain belum siap, usaha yang baik dan jujur pun akan dianggap sebagai trik atau strategi saja dalam rangka mengalahkan musuh. Karena itu perlu kesabaran dan ketekunan yang luar biasa.

Dalam rangka membangun bridge of turst ini jugalah hereja Bali gencar mengembangkan apa yang kita sebut “kontekstualisasi”. Dengan sengaja dikatakan “juga” karena maksud utama dari kontekstualisasi adalah menyampaikan berita sukacita dalam bentuk dapat dimengerti oleh mereka yang mendengarnya. Untuk dapat dimengerti maka harus disampaiakan dalam bahasa (baca: konteks) setempat. Namun bersama itu Gereja Bali juga ingin agar orang Bali Kristen tidak dianggap sebagai orang-orang yang tidak menghormati budayanya sendiri. Dan memang secara jujur mereka tidak ingin meremehkan budaya mereka sendiri. Maka terciptalah gedung-gedung Gereja dalam arsitektur Bali, tersiptalah tari-tarian sebagai salah satu bentuk puji-pujian kepada Tuhan, bahasa Bali tetap dipelihara justru dalam kebaktian-kebaktian formal pada hari minggu, sejauh masih memungkinkan. Menurut Putu Setia, konsultan media Kompas yang sangat konsen terhadap perkembangan budaya Bali, kunci/benteng untuk mempertahankan budaya Bali adalah memelihara dan mengggunakan bahasa Bali dengan mengadakan terjemahan Alkitab dalam bahsa Bali, bahkan saat ini sedang digarap Alkitab audio dalam bahasa Bali, di samping menggunakan bahasa Bali dalam ibadah-ibadah.

Usaha ini ditanggapi dengan sikap yang berbeda-beda dari masyarakat Bali. Ada yang menyambut dengan gembira tetapi ada pula yang mencurigai dan menganggap itu hanya sarana untuk memancing agar orang Bali mau masuk Kristen. Dalam hgal ini Gereja Bali tetap berusaha untuk menampilkan diri sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Bali sambil berharap suatu saat jembatan kepercayaan itu akan terbangun dan terciptalah suasana di masing-masing siap untuk saling mendengar, saling mengerti dan saling menghormati bahkan merasa saling memerlukan.

IV.     Masa Reformasi dan Otonomi Daerah
Ketika orang berbicara tentang otonomi daerah, kearifan lokal dan semua yang terkait dengan itu, kesadaran akan pentingnya memeliharakebudayaan daerah langkah konkrit untuk itu makin digalakkan. Terlebih lagi setelah terjadi ledakan bom di Kuta 12 Oktober 2002, perhatian dari berbagai penjuru Dunia tertuju kepada Bali. Di samping linangan air mata banyak kata-kata penghiburan dan penguatan terlontar. “Bali jangan menangis lagi”, “Bangkitlah Baliku” dsb. Banyak bantuan yang datang untuk “Bali Recovery”. Saat itu pulalah mulai dipopulerkan apa yang disebut “Ajeg Bali”. Setiap pejabat pemerintah pusat yang datang berkunjung ke Bali menandatangi prasasti Ajeg Bali ini. Nemun apa sesungguhnya yang dimaksud dengan Ajeg Bali itu? Rupanya masing-masing orang punya konsep sendiri. Tulisan Putu Setia dalam bukunya “Bali yang meradang” yang diberi judul “Ajeg Bali atau Ajeg Hindu?” seperti berikut ini, mencerminkan kesimpangsiuran dalam konsep maupun agenda dari Ajeg Bali itu.

“Ingaat Ajeg Bali saya ingat akan perbincangan dengan seorang umat Buddha dan seorang Muslim di pupuan, Kabupaten Tabanan.” Demikian Putu Setia memulai ceritanya. Temannya yang beragama Buddha itu berkata begini: ”Umat Buddha sangat mendukung ajeg Bali. Kita ingin agar Bali tetap leastari sepanjang masa. Karena itu kita membangun Wihara dengan arsitektur Bali, Wihara yang ramah lingkungan, Wihara yang bersih. Lihat Wihara kita, begitu asrinya, selintas seperti Pura, tetapi penuh pepohonan yang rindang. Yang jelas kebersihannya lebih bagus dari Pura sekitar sini.” Lalu temannya yang satu lagi yang Muslim itu dengan bangga memperkenalkan Masjid yang sedang dibangun di daerah pupuan itu kepada Putu Setia dan berkata: “ Masjid ini nantinya akan jadi contoh bagaimana tempat suci itu bersih, punya halaman luas. Pokoknya sesuai dengan konsep ajeg Bali, karena kita hidup di Bali tentu kita sangat mendukung konsep ajeg Bali.

Kemudian komentar dari Putu Setia begini: “Mereka bicara tentang ajeg Bali, kata yang dalam setahun ini begitu populer di Bali. Apa pun dikaitkan dengan ajeg Bali. Barangkali umat Kristiani di Dalung, Tuka, Palasari, dan tempat-tempat lain, juga punya pandangan serupa bahwa mereka sebagai penduduk sah Pulau Bali akan ikut menjaga dan menegakkan ajeg Bali. Lihat saja Gereja yang mereka bangun, ada candi bentarnya, ada ornamen Bali seperti yang kita temui di pura. Kalau mereka merayakan Natal, mereka datang ke Gereja seperti halnya umat Hindu datang ke Pura, berpakaian adat Bali, membawa buah-buah yang dirangkai seperti pajengan orang Bali, membakar dupa dan sebagainya. Bahkan di Palasari, Jembrana, ada suara gamelan gong yang biasa dipakai orang Bali, berikut tari-tarian Balinya.”

Sampai disini kita sama sekali belum tahu kemana arah tulisan Putu Setia ini. Apakah usaha dari umat lain yang berpartisipasi dalam mendukung Ajeg Bali ini akan ia nilai positif atau negatif, kita masih belum tahu. Selanjutnya ia menulis begini: “kembali kepada konsep ajeg Bali. Salah satu ciri adalah Satyam (kebenaran), Siwam (kesucian), dan Sundaram (keindahan). Semuanya telah mereka penuhi. Bahkan mereka mensucikan tidak saja dalam bentuk phisik, misalnya, cara membuang sampah, tetapi juga non phisik. Tidak ada judi (tajen, bola adil, permainan dadu) saat persembahyangan di Gereja, Wihara, atau Masjid, seperti piodalan di pura. Sementara para umat Hindu, piodalan selalu disertai dengan judi, bahkan pura pun kotor oleh sampah.”

Kita mulai mendapat kesan bahwa ia menilai umat non-Hindu ternyata sudah berpartisipasi dalam menegakan ajeg Bali, jauh lebih baik dan lebih maju ketimbang umat Hindu sendiri. Bahakan filsafat Tri Hita Karana yang sangat dibanggakan oleh umat Hindu, menurut Putu Setia, sudah di wujud-nyatakan oleh umat non-Hindu. ”telah mereka jalankan tanpa banyak teori. Bahkan hubungan antar sesama manusia, melebihi prilaku orang Bali yang selalu bicara Tri Hita Karana. Umat Kristiani gencar membangun Panti Asuhan, umat Muslim gencar membantu temannya yang berdagang baik di kaki lima maupun di pertokoan (ditambah bantuan perbankan yang modern),umat buddha juga solidaritas yang tinggi. Sementara umat Hindu, justru anak-anak mereka masuk ke Panti Asuhan umat lainnya.”

Tetapi pertanyaan yang ia kemukakan langsung menyambung kalimat di atas, sangat mengagetkan. Seakan berbalik 180 derajat dari posisi yang semula. “Ajeg Bali seperti itukah yang akan dilanggengkan di Bali? “demikian ia bertanya dan langsung dilanjutkan lagi: “Ajeg Bali di zmana setiap tahun jumlah umat Hindu berkurang dalam komposisi penduduk Bali. Presentasi pemeluk Hindu terus menurun setiap tahun di Bali, baik karena populasi yang rendah maupun karena ada yang pindah Agama. Bagi saya, ini menyedihkan. Karena itu saya lebih setuju berbicara tentang Ajeg Hindu di Bali, bukan Ajeg Bali. Dengan ajeg Hindu, maka pertama-tama yang dibuat ajeg adalah kehidupan orang Bali. Cegah orang Bali pindah agama dengan memberikan pendidikan agama Hindu sejak dini kepada anak-anak. Cegah orang bali menjual tanahnya dengan menanamkan konsep bhakti kepada leluhur sehingga warisan harus dipertahankan. Bendung misi Agama lain dengan segala cara, jika perlu termasuk membatasi pendirian tempat ibadah umat non-Hindu di kantong-kantong umat Hindu sesuai dengan aturan yang ada………….Orang bilang, tujuan ajeg Bali, ya seperti itu, semuanya berangkat dari keyakinan Hindu. Tetapi kenapa harus mutar-mutar, kenapa takut bilang ajeg Hindu, yang jadi sumbernya?” Demikian Putu Setia menutup tulisannya.

Dari situ kita tahu bahwa ada kekhawatiran di kalangan umat Hindu bahwa jumlah mereka akan berkurang terus. Dalam dialog-dialog antar umat beragama kita selalu mendengar keresahan mereka bahwa suatu saat nanti Bali bukan lagi Pulau Seribu Pura, tetapi berubah menjadi pulau seribu Mesjid atau pulau seribu Gereja. Bahkan para pendeta dengan terus terang ditantang supaya berhenti mengkhotbahkan thema yang mengajak umat lain menjadi Kristen. Apakah kalau semua orang Bali menjadi Kristen, Pulau Bali akan lebih baik? Demikian mereka bertanya (baca:menantang) sambil minta pengertian dan perhatian. Bagaimana kita harus menjawab pertanyaan ini?
Persoalan yang sesungguhnya dalam hal ini adalah penafsiran yang keliru tentang pemberitaan ini (PI), dari pihak saudara-saudara kita yang non-Kristen, tetapi juga dari pihak Gereja-gereja yang sudah terpecah belah dalam begitu banyak denominasi. Untuk memperbaiki ini kita harus mulai dari pihak Gereja-gereja sendiri. Gereja-gereja secara tidak sadar seringkali mengartikan PI itu sebagai usahauntuk menambah jumlah anggota. Apalagi hal semacam itu kemudian dipublikasikan/diumumkan dengan memasang spanduk dan di teriakan keras-keras di lapangan terbuka dengan speaker yang besar-besar. Mereka yang non-Kristen langsung mengartikan itu sebagai program pengkristenan. Dan itu tentu menyinggung perasaan dan menyakitkan hati mereka. Padahal PI artinya membawa kabar sukacita yang membuat lain menjadi gerah, tentu di disitu ada hal yang tidak beres.

Sekali lagi gereja-gereja (atau tepatnya: denominasi-denominasi) harus koreksi diri. Benarkah kita telah menghadirkan shalom di dunia ini? Benarkah kita telah menampakkan kasih Kristus kepada dunia sehingga membuat dunia ini menjadi lebih damai dan sejahtera? Saya khwatir kalau yang sedang dilakukan oleh denominasi-denominasi itu adalah usaha untuk memperbesar diri sendiri untuk dapat mencapai kesombongan rohani dan jasmani. Sebab kalau jumlah anggota saya lebih banyak, gedung gereja saya lebih besar, lumayan juga buat ngangkat derajat di depan mata manusia yang duniawi ini. Jangan-jangan para pendeta dari denominasi-denominasi itu sedang berjuang untuk menaikan income dan mempertebal sakunya masing-masing.

Semua ini telah membuat mereka yang non-Kristen menjadi muak melihat orang Kristen. Mereka tidak dapat mengerti, mengapa harus ada begitu banyak gereja dan begitu banyak pendea yang teologia dan gayanya saling bertentangan satu dengan yang lain? Kalau sekedar berbeda tentu tidak masalah. Tetapi kalau sudah bertentangan dan saling menyalahkan , apalagi saling jegal dan saing berebut anggota, bukankah ini sebagai bukti bahwa denominasi-denominasi itu yang harus bertobat terlebih dahulu, sebelum berteriak menyuruh orang lain bertobat? Tidak heran kalau kemudian dunia menertawai dan membenci kita. Kalau kita dibenci karena kita yang sombong, menganggap diri sendiri paling hebat, tidak peduli dan tidak mau mengerti orang lain, tidak peka terhadap perasaan saudara atau teman kita, rakus lagi; tidak ada jalan lain selain bertobat. Bertobat dulu, baru sesudah itu minta dihargai oleh dunia.

Kepada saudara-saudara kita yang non-Kristen harus diberitahu dan mereka harus diyakinkan bahwa PI artinya menyatakan kasih Yesus kepada dunia. Kehadiran Gereja adalah untuk memberkati:mmenyembuhkan yang sakit, menghibur yang susah, membantu mengangkat derajat orang miskin, menguatkan yang lemah dst. Dan ini harus benar-benar dilakukan oleh gereja-gereja, tidak hanya diucapkan. Pokoknya kehadiran gereja harus membawa kesejukan, membuat orang bersuka cita, menciptakan damai sejahtera. Gereja Bali ingin benar-benar berkomitmen dalam hal ini, sehingga Visi GKPB yang telah disahkan pada tahun 2006 dan akan diberlakukan mulai tahun 2008 berbunyi: Bumi nersuka cita dalam Damai Sejahtera. Jika ini terjadi maka orang dengan sendirinya akan mengucapakan syukur kepada Tuhan. Mereka tidak perlu takut bahwa Gereja akan mengkristenkan mereka. Soal memeluk agama itu adalah urusan pribadi seseorang dengan Tuhan, yang tidak boleh dicampuri oleh orang lain. Tak seorangpun boleh memaksa ataupun menghalangi niat seseorang untuk memilih agama tertentu untuk berbakti kepada Tuhan. Itu adalah kebebasan yang paling hakiki dan itulah yang ingin kita capai.

Kembali untuk bisa sampai di situ harus dibangun dulu jembatan kepercayaan. Dalam rangka membangun bridge of trust itu perlu dikembangkan prinsip “harmoni’. Untuk itu yang paling memungkinkan adalah memulai dari Cammon Ground kita yakni NKRI. Dalam kerangka itu kita harus bersama-sama memegang prinsip harmoni ini. Harmoni tidak sama dengan toleran. Toleran artinya membiarkan/membolehkan sesuatu yang tidak semestinya demikian. Dalam toleran, yang lain tidak diperlukan. Kehadirannya malah mengganggu, tetapi dari pada ribut, sudahlah dibiarkan saja. Itulah makna dari toleran. Padahal prinsip Bhineka Tunggal Ika bukanlah sebuah pilhan dari sekian banyak kemungkinan yang tidak baik. (the best of the worst), tetapi sesuatu yang memang baik, yang justru merupakan nilai tambah dari bangsa Indonesia. Jadi dalam NKRI kepelbagian itu adalah sesuatu yang baik, sehingga justru harus merupakan sesuatu yang dipertahankan dan dujunjung tinggi. Maka kata “toleran” sesungguhnya tidak cocok. Yang benar adalah “harmoni” sebab di situ yang lain itu mutlak diperlukan. Tanpa kehadiranmu, NKRI tidak utuh.

Saya teringat ucapan seorang Muslim, salah seorang sahabat saya yang sangat saya kagumi. Entah dia mengutip dari mana, saya tidak tahu. Tetapi saya ingat dia mengatakan begini: “Seandainya Allah menghendaki seluruh umat manusia menganut satu Agama saja, pasti itu sudah terjadi. Sebab sangat mudah bagi Allah untuk mewujudkan kehendak-Nya.” Itu berarti bahwa keberadaan manusia yang menganut Agama yang berbeda-beda ini adalah kehendak Allah. Maka kita harus saling satu dengan yang lain. Tak ubahnya seperti alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan dengan keanekaragaman agar alam ini menjadi indah dan semarak. Begitulah seharusnya manusia hidup dalam kepelbagiannya, termasuk suku, Agama, dst. Mereka harus hidup dalam damai sejahtera, saling memerlukan satu dengan yang lain. Alam sendiri juga terus menerus mengadakan perubahan secara alamiah. Apalagi manusia. Biarkanlah mereka berubah asal tidak ada yang memaksa dan dipaksa. Sebab tugas kita adalah memelihara hubungan baik dengan seluruh ciptaan Tuhan demi terwujudnya damai sejahtera yang menyeluruh dan abadi (syalom).

V.    KESIMPULAN
Dari pengalaman Gerja Bali seperti yang dituturkan di atas, dapat di ambil beberapa kesimpulan:
1.     Dalam hal-hal yang menyangkut soal Agam, orang akan mencari dan mengutamakan ketenangan batin, bukan status sosial atau ekonomi. Sehingga dalam PI bukan soal-soal status sosial dan ekonomi yang harus ditonjolkan, melainkan kepuasan batin yang didasarkan atas kebenaran Firman Tuhan.
2.   Dalam ber-PI harus benar-benar diperhatiakn bahwa tugas Gereja adalah menghadirkan damai sejahtera di dunia yang sedang kacau. Tugas Gereja adalah memberi jalan keluar, bukan menambah masalah, ataupun menjadi penyebab kekacauan.
3.    Gereja harus berani menyaksikan kuasa Kristus yang mengalahkan segalanya, bahwa Kristus mengalahkan kuasa roh-roh jahat dan penyakit yang membelenggu manusia, namun harus tetap jelas bahwa ini adalah bentuk penampakan kasih Allah yang membela manusia, bukan menghukum.
4.   Harus diciptakan bridge of trust yang akan memungkinkan adanya dialog yang tulus (bukan sekedar formalitas) ataupun basa-basi) dalam suasana saling mempercayai dan saling menghormati.
5.    Harus ada kesediaan dari pihak orang-orang Kristen untuk merendahkan diri dan berusaha mengerti serta menghargai / menghormati orang-orang lain (termasuk adat-istiadat mereka) di dalam masyarakat di mana mereka sama-sama sebagai warga.
6.    Gereja-gereja harus mengoreksi diri dengan penuh kesadaran bahwa diadakan pembenahan ke dalam terlebih dahulu sebelum keluar memberitakan Injil kepada dunia. Usaha untuk membangun persekutuan harus mendahului usaha PI, sebab tanpa persekutuan, PI hanya akan menjauhkan orang dari Kristus.
7.    Perlu dikembangkan “Teologi Harmoni” dan tinggalkan “Teologi Mercu-suar”. Semua kelompok Agama harus saling menghormati satu dengan yang lain atas dasar iman bahwa Allah sendiri yang mengatur alam semesta ini. Dia jugalah yang mengatur Agama-agama yang beraneka ragam ini. Kita memeluk satu Agama adalah karena panggilan Tuhan. Allah sendiri yang menghendaki si A memeluk Agama ini dan si B memeluk Agama itu. Biarlah Tuhan sendiri yang mengatur. Jangan pernah memaksa orang untuk memeluk suatu Agama ataupun melarangnya. Selama Agama itu mengajarkan yang baik, ia patut dihormati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar