WELCOME

” Blogger ini bukan merupakan forum penghakiman ataupun penuduhan. tetapi merupakan kesempatan proses pembelajaran strategis untuk mengasah dan membangun nalar yang konstruktif/kristis, kemampuan konseosi dan taktik belajar yang efektif

Kamis, 21 Oktober 2010

" DEMOKRASI DALAM GENGGAMAN ELITE POLITIK "


A.       Prolog
Menguaknya faham demokrasi dalam bangsa Indonesia bukan hal yang baru, seolah-olah demokrasi adalah milik penguasa atau kaum-kaum elite, namun demokrasi adalah milik semua individu, karena kemerdekaan individu adalah bagian dari demokrasi, ketika rakyat dibungkam dengan pengisolisasian kreativitas dalam kehidupannya maka sesungguhnya negara telah melakukan pelanggaran HAM berat. Negara merupakan representative dari rakyat bukan rakyat yang merupakan representative dari negara. Pemahaman tersebut adalah keliru ketika kita menempatkan rakayat adalah representatif dari negara maka sesungguhnya kita telah melakukan depolitisasi terhadap hakekat demokrasi. Mengapa demikian? Karena pembentukan suatu negara harus didukung dengan orang-orang yang ada dalam teritorial tersebut. Artinya teritorial tersebut dimungkinkan dapat memobolisasi aspek-aspek kehidupan rakyat maka disitulah negara akan dibentuk. Seperti apa yang dikatakan oleh filsuf Rene Descrates yaitu ”Cogito Ergo Sum” mengandung arti bahwa ketika ”kita berpikir maka kita ada”. Kita berpikir maka kita adalah bagian dari kemerdekaan seseorang, karena dalam kemerdekaan seseoarang terimplisit demokratisasi. Elite politik selalu memakai jargon demokrasi sebagai langkah mereka dalam mengambil suatu keputusan, namun muncul sebuah pertanyaan yaitu apabila semua orang mengatakan bahwa yang barat itu adalah timur, apakah itu adalah bagian dari demokrasi?? Kalau memang semua orang mengatakan demikian maka sebuah kebenaran hanyalah kamuflase politik yang dicita-citakan oleh elite politik. Seperti yang diungkapkan oleh filsuf Paul Nortop bahwa ”segala kebenaran maunya diketahui, dinyatakan, dan juga dibenarkan; kebenaran tersebut sendiri tidak memerlukan hal itu, karena dialah yang menunjukkan apa yang diakui benar dan harus berlaku”. Kebenaran elite politik maunya dipaksakan kepada rakyat padahal kebenaran tersebut tidak menuntut hal demikian. Elite politik selalu melakukan pemaksaan kebenaran dengan cara menghadirkan segudang peraturan-peraturan berupa UU, Perpu, Inpres, Keppres, Perda, Permen, dsb. Seolah-olah kebenaran tersebut hanya milik elite politik atau elite penguasa. Kodrat manusia tidak diukur dengan berbagai kebijakan namun kodrat tersebut hanya hanya bisa ukur dengan perbutan yaitu ketika seseorang melakukan kebenaran secara shahih maka perbuatan tersebut yang menunjukan orang tersebut memiliki kodrat. Sebaliknya ketika elite politik tidak bisa menunjukan kodrat sebagai representatif dari rakyat maka elite politiklah yang telah membungkam kodratnya sendiri.

B.        Kedaulatan Rakyat Bukan Kedaulatan Negara
Elite politik selalu mewarnai dialektika negara dengan kata-kata romantis yaitu kata-kata yang mampu mengelabui hati orang lain, padahal tanpa disadari kata-kata tersebut adalah ”Senjata Pembunuh Massal” seperti yang diungkapkan oleh Sub Comandante yaitu ”Kata adalah Senjata” ketika kita mengumandangkan tentang demokrasi yang ideal maka demokrasi tersebut dapat mencelakai orang banyak. Salah satu kasus adalah pemekaran provinsi Tapanuli. Kasus tersebut adalah kebablasan dari pemaknaan demokrasi, karena dalam UU No 32/2004 tidak menjelaskan secara filosofi tentang Demokrasi sehingga rakyat mengalami ambiguitas dalam penafsiran akan demokrasi. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata yaitu Demos berarti Rakya dan Cratein berarti aturan Semangat otonomi daerah yang termaktub di dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terdapat tiga asas penting yakni: (1) Dekonsentrasi, (2) Tugas Pembantuan dan, (3) Desentralisasi. Ketiga asas tersebut sejatinya berikthtiar mendekatkan Negara pada Rakyat, karena pada rezim terhadulu masih bersifat sentralisasi dan diasumsikan bahwa Negara itu terlalu “Jauh” terhadap rakyatnya”. Namun sampai detik ini negara masih sangat jauh dari rakyat karena negara selalu mengutamakan kedaulatan negara diatas kedaulatan rakyat, padahal dalam UUD 1945 jelas-jelas menekankan bahwa kedaulatan rakyat diatas kedaulatan negara. Jadi proses demokratisasi yang diidealkan oleh negara sebenarnya hanya sebuah fatamorgana karena negara selalu berlindung dibalik jubah ideologi kapitalisme ketimbang ideologi Pancasila. Elite politik saat ini laksana ”gajah” ketika gajah memainkan belalainya untuk mendapatkan makanan dan minimuman serta badan yang besar untuk menakuti hewan-hewan kecil adalah ideal, namun ketika elite politik bermegah-megah (gajah) dengan jubah dan senjata dialektika untuk mendapatkan kekuasaan tersebut bukanlah sesuatu yang ideal karena identitas elite politik adalah representatif dari rakyat bukan menjadi alat kekuasaan dalam melegalkan segala cara untuk kepentingan pribadi dan golongan.

C.        Domokrasi Dalam Genggaman Elite Politik
Demokrasi dalam genggam politik adalah hal yang ”baru” namun demokrasi dalam genggaman elite politk yang dimaksudkan oleh penulis adalah hal ”lama” yaitu ”bukan terjadinya pergantian kepemimpinan tetapi yang terjadi adalah perputaran kekuasaan” dilihat dari beberapa aspek yaitu:
1.   Aspek Legislasi
a.    Elite politik selalu memainkan peran mereka dalam mengambil keuntungan pribadi sehingga idealisme dari elite politk mulai diragukan,
b.   Kedaulatan negara lebih diutamakan dari pada kedaulatan rakyat,
c.    Kepentingan kapitalisme mengalahkan nurani kebangsaan (nasionalisme),
d.    Kekuasaan dipakai sebagai alat untuk mendapatkan popularitas,
e.    Kewenangan merpersempit ruang demokratisasi,
f.     Kedewasaan partai selalu terisolasi dengan sistem struktural,
g.    Rule of law hanya menjadi alat kekuasaan bagi segelintir elite komprador,
h.   Profesionalisme hanya menjadi stimulus dalam menciptakan keraogansian.
2.  Aspek Bugdet
a.    Penetapan rancangan anggaran pendapatan belanja negara terkadang mengandung praktek-praktek Korupsi,
b.   Anggaran pendapatan belanja negara tidak dipublikasikan ke rakyat sehingga bisa membuka ruang yang selebar-lebarnya pendistosian,
c.    Anggaran pendapatan belanja negara terkadang tidak mengakomodasi kebutuhan negara sehingga anggaran tersebut dipergunakan untuk kepentingan kekuasaan,
d.    Rancangan anggaran pendapatan belanja daerah terkadang bomerang bagi APBN ketika APBD tersebut tidak memenuhi konstitusi perimbangan keuangan antar daeran dan pusat,
e.    Masih terjadi tumpang tindih dalam pengelolaan anggaran daerah disebabkan oleh daerah-daerah yang memiliki SDA melimpah wajib memberikan 25-40% ke pusat sedangkan daerah-daerah yang memiliki sedikit SDA wajib memberikan kepada pusat 15-30%,
f.     Dalam UU 33/2004 mengandung dualisme sistem pemerintahan yaitu desentraslisasi yang diidealkan oleh UU 32/2004 yang sebenarnya memberikan ruang pengelolaan keuangan daerah yang akuntabel kini menjadi dilematis karena dekosentrasi tersebut memainkan peran daerah pada jalur sentralistik,
g.    Perlu disosialisasikan RAPBN dan RAPBD melalui media cetak, elektronik, kotak pos, P.O Box, dsb sebelum disahkan menjadi APBN/APBD.
3.  Aspek Pengawasan
a.    Pengawasan akan kebijakan yang direalisaskan hanya menjadi momok bagi elite politik saat ini,
b.   Pengwasan tersebut tidak terkonstan dengan stimultan dan continu,
c.    Pengawasan pada aset-aset negara tidak diimplementasikan dengan baik,
d.    Pengawasan hutan lindung hanya menjadi obyektivitas dari kaum kapitalisme,
e.    Sistem pengawasan yang seharusnya dilakukan dengan transparan oleh aparatur negara tidak dapat berjalan obyektif,
f.     Dalam pengawasan akan kebijakan terkadang melegalkan kepentingan individual dan mengorbankan kepentingan rakyat,
g.    Penagawasan tersebut harus dievaluasi secara fundamental sehingga nilai-nilai universial kerakyatan bisa termobilisasi sedemikian rupa,
h.   Hasil evaluasi dari pengawsan tersebut harus dipublikasikan pada rakyat agar rakyat sadar bahwa negara mengutamakan kepentingan rakyat diatas kepentingan negara.

D.       Bukan Agen of Change Tetapi Agen of Transformation
Orang selalu mengidentikan agen of change dengan pergantian kekuasaan oleh orang-orang baru, namun pergantian kekuasaan tersebut melahirkan sistem otoritarian yang tidak pernah habisnya yaitu kita boleh menggantikan orang-orang pada struktur tersebut tetapi kita tidak bisa merubah kekuasaan yang telah didoktrin terhadap orang-orang yang duduk dalam struktur tersebut, sadar atau tidak sadar orang-orang yang duduk dalam struktur tersebut lambat-laun akan terkooptasi dengan bangunan feodalisme individual yang ada dalam struktur. Untuk itu kita perlu menjadi agen of tranformation yaitu kata dan perbuatan kita harus sejalan dalam mengimplementasikan desicion yang kita sepakati. Manjadi seorang tranformation harus berpegang ”teguh” pada komitmen moral (idealisme) dan selalu ”berdiri teguh” pada pendirian sehingga kita tidak mudah ”goyah” seperti yang tertera pada tema besar Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) yaitu ”Berdirilah Teguh, Jangan Goyah” (1Korintus 15:58) sehingga nilai-nilai universal yang kita anut tersebut bisa kita tranformasikan pada individu yang ada dalam struktural agar idealisme tersebut menjadi gerakan revolusioner. Menjadi agen of tranformation harus berani mengambil resiko sekalipun resiko tersebut mengancam karir kita. Karena orang yang berani mengambil resiko adalah orang-orang yang terseleksi secara intrinsik bukan secara ekstrinsik, disitulah letak kepiawaian seorang pemimpin yang siap mempertaruhkan segalah kehormatan dan hidupnya demi kedaulatan rakyat. Menjadi agen of tranformation tersebut kurang mendapat perhatian serius dalam kalangan elite politik karena dalam idealisme elite politik sudah terkooptasi dengan kehidupan modernisme yakni elite politik harus mampu menunjukan wibawa paternalistik kepada rakyat. Padahal pandangan tersebut sangat keliru apabila elite politik memahami hakekat dari jabatan yang diembankan kepadanya. Elite politik adalah pelayan rakyat bukan dilayani rakyat. Maksudnya bahwa elite politik dipilih dari rakyat, kepada rakyat, dan untuk rakayat. Elite politik harus mengabdi kepada rakyat bukan mengabdi kepada kapitalisme, justru yang terjadi dalam negara ini adalah elite politik mengabdi kepada kapitalisme sehingga roh UUD 1945 yang sesungguhnya diperjual-belikan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Menurut penulis elite politik harus bercermin kepada sejarah karena ”sejarah adalah masa lampau, masa lampau yang tertunda adalah masa kini, masa kini adalah bagian dari masa lampau yang tertunda” jadi sejarah yang diinginkan oleh founding/fathers adalah masa lampau yang tertunda, yang dimana kita harus berusaha untuk memenuhi pergumulan tersebut sehingga masa kini yang adalah bagian dari masa lampau bisa terjawab dengan signifikan. Justru yang terjadi dalam era reformasi ini adalah penggemukan struktur kekuasaan sehingga struktur tersebut selalu dikelola secara simultan oleh individu-individu yang tidak bertanggungjawab terhadap kedaulatan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar