WELCOME

” Blogger ini bukan merupakan forum penghakiman ataupun penuduhan. tetapi merupakan kesempatan proses pembelajaran strategis untuk mengasah dan membangun nalar yang konstruktif/kristis, kemampuan konseosi dan taktik belajar yang efektif

Kamis, 21 Oktober 2010

REPOSISI GERAKAN MAHASISWA DALAM MENYIKAPI REALITA KEBANGSAAN


A.       Prolog
Dunia pendidikan merupakan dunia intelektualitas, yang selalu hadir dalam setiap aktivitas dan tindak tanduk dari mahasiswa. Suatu negara dapat maju apabila sarana dan prasaran pendidikan tersebut dapat dipenuhi oleh pemerintah. Namun pada dekade ini pendidikan seakan menjadi hantu yang menakutkan, dimana ketika para siswa/i hendak menghadapi Ujian Nasional, mereka selalu terbentur dengan standarisasi nilai yang ditentukan oleh Menteri Pendidikan Nasional. Standarisasi tersebut terkadang tidak memberikan dampak positif bagi siswa/i melainkan dampak negetif yang dialami, karena intelektualitas seseorang hanya dapat diukur dengan nilai, bukan dengan kodrat manusia. Artinya kodrat manusia sekarang ini hanya bersifat nilai (value) yang secara eksplisit kodrat manusia telah diperjualbelikan. Sadar atau tidak sadar bangsa kita telah menjual harkat dan martabatnya sendiri yaitu dengan cara mengukur kodrat manusia dengan nilai, berarti secara harafiah para kaum cendikiawan yang ada dinegara ini martabtnya akan diukur dengan sebuah data statistik. Pertanyaannya adalah (1). Apakah data statistik dapat mengukur kodrat seseorang? (2). Bagaimana cara operasional data statistik dalam mengukur moral dan kodrat seseorang? (3). Bagaimana terjadinya kamuflase humanisme bersenyam dalam ranah intelektualits? (4) Kapan data statistik itu dapat mendektesi moral dan kodrat? (5). Dimana letak moral dan kodrat seseorang dalam data statistik?. Melihat dari pertanyaan diatas ini maka pendidikan yang humanis harus berorintasi pada pembentukan nalar intelektualitas, daya kreasi, inovatif, kritis, dan berwawasan kebangsaan sehingga terciptanya pengkristalan intelektualitas yang memanusiakan manusia bukan manusia mengintelektualisasikan diri, dan apabila manusia mengintelektualisasikan diri maka yang terjadi adalah egosentris individual yang bersemayam dalam ranah logo sentris. Dalam sistem kurikulum pendidikan, lebih ditekankan pada daya kognif saja dan bukan pada daya keratif dan inovatif. Apabila kognitif saja yang diperjuangkan maka lambat laun negara ini akan menjadi negara ekspansi imprelism negara-negra maju, karena kurikulum kita mengajarkan kita agar menjadi cendikiawan pekerja bukan cendikiawan pelopor dari pekerjaan tersebut. Untuk itu kurikulum pendidikan baik itu dari tingkatan SD – PT harus menekankan pada kurikulum yang berbasis : (1). Kurikulum pendidikan yang berkarakter, (2). Kurikulum pendidikan berkepribadian yang berdasar sosial, filosofis, etnis, religius, (3). Kurikulum pendidikan yang menciptakan cendikiawan dan ilmuan yang kredibel dan mau bekerja sesuai dengan tri darma PT, serta (4). Kurikulum pendidikan yang berbasis kebudayaan lokal. Pendidikan di indonesia telah banyak sekali menghasilkan cendikiwan-cendikiawan yang kredibel, namun banyak juga cendikiawan yang lebih memilih duduk dibelakang meja. Sebagai contoh banyak sarjana pertanian, namun sedikit sarjana pertanian yang mau bekerja dilahan pertanian, begitu juga banyak sekali sarjana perikanan, namun hanya sedikit orang yang mau bekerja di bidang perikanan. Artinya banyak yang terpanggil dalam disiplin ilmu tersebut, tetapi sedikit yang terpilih dalam mengimplementasi ilmu yang didapat secara konkrit.

B.        Reposisi Gerakan Mahasiswa
Secara epistemologi reposisi adalah ”re”:mengulang atau menata dan atau memperbaiki, dan ”posisi”: letak atau kedudukan dan atau status, jadi menurut hemat penulis ”reposisi” adalah menata kembali. Sedangkan ”gerakan” adalah tindakan atau aksi, dan ”mahaiswa” adalah sekumpluan atau sekelompok orang yang terlibat secara formal dalam dunia pendidikan perguruan tinggi. Jadi ”reposisi gerakan mahasiswa” menurut hemat penulis adalah menata kembali gerakan atau tindakan sekelompok orang mahasiwa perguruan tinggi ketempat semulanya. Apabila melihat sejarah pergerakan pemuda secara kelembagaan, kita memudian mengenal perhimpunan Indonesia (PI) yang didirikan oleh para mahasiswa yang sementara menjalankan studi di Eropa pada decade 1900-an, dimana mereka berasal dari Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Maluku. Agenda perjuangan PI adalah pengorganisasian gerakan nasionalisme. Di Indonesia atau Hindia Belanda, muncul juga komunitas-komunitas pergerakan nasionalisme yang di gerakan oleh Pemuda dalam bentuk studi club. Ada juga yang berbasis suku dan agama, antara lain pemuda islam, jong minahasa, jong Ambon, Jong sumatera, dan lain-lain. Disamping itu, pada masa-masa awal setelah kemerdekaan, berdirilah organisasi-organisasi pemuda yang berbasis mahasiswa yang dalam kesejarahan banyak memberikan kontribusi dalam dinamika nasionalisme Indonesia, antara lain: Himpunan Mahasiswa Islam pada tahun 1947 di Yogyakarta, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia pada tahun 1948 di Jakarta, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia pada tahun 1950 di Jakarta, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia pada tahun 1954 di Jakarta, dan Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia pada tahun 1960 di Surabaya. Organisasi ini memiliki basis identitasanya yang khas dan dalam proses konsolidasinya kemudian merambat ke seluruh wilayah Indonesia. Selain GMNI yang didirikan dengan basis ideology marheinisme, keempat organisasi lainnya yakni HMI, PMKRI, GMKI, dan PMII didirikan dengan dua identitas yakni kebangsaan atau nasionalisme dan keagamaan masing-masing. Bagi mereka keagamaanya menjadi spirit dalam memperjuangkan identitas kebangsaan atau nasionalisme Indonesia. Olehnya, mengambil peran dalam kehidupan berbangsa adalah panggilan Iman keagamaan. Misalkan saja HMI yang kehadiranya karena keprihatinan dari Lafran Pane dan kawan-kawan karena kondisi umat Islam saat itu yang terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan serta jurang kemiskinan dan kebodohan, sehingga perlu upaya strategis dan solutif. Alasan itulah yang mendorong didirikannya wadah perkumpulan mahasiswa Islam bagi terbinanya insan akademik, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhohi Allah. Sedangkan PMII yang didirikan oleh Nahdlatul Ulama (NU), tetapi kemudian menyatakan independen secara struktural dari NU pada awal tahun 1970-an. Awalnya, PMII menggunakan teologi Aswaja (ahlussunah wal jama’ah) sebagai doktrin resmi yang dipakai NU. Doktrin Aswaja lebih banyak berbicara tentang takdir manusia yang telah ditentukan Allah, dan kedudukan manusia sebagai mahkluk. Namun kemudian pemikiran PMII mengalami perkembangan dan loncatan perubahan yang cukup mencolok dengan mengembangkan tradisi kritis, yang tidak hanya menggugat kemapanan struktur social, ekonomi dan politik, tetapi juga kritis terhadap doktrin teologi Aswaja. Pergeseran itulah yang membuat pandangan intelektual semakin terbuka, peka dan peduli terhadap masalah keagamaan dean kehidupan social. Konsekuensi dari keterbukaan ini bagi PMII adalah sikap menerima perbedaan, akomodatif, dan toleran. Sedangkan bagi GMKI dan PMKRI, bahwa kehadiran dalam sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia adalah panggilan Allah yang harus direspon oleh mereka sebagai umat kepunyanNya. Olehnya, secara teologis, dalam istilah GMKI, bahwa sesungguhnya mereka memiliki dua kewarganegaraan yang harus di proklamasikan yakni sebagai warga Negara Indonesia dan sebagai warga kerejaan Allah. Pararel dengan itu, dalam kitab Injil terdapat pesan bahwa berikanlah kepada pemerintah apa pemerintah punya dan berikanlah kepada Allah apa yang Allah punya. Pada tahun 1972, empat organisasi yakni HMI, PMKRI, GMKI, dan GMNI kemudian mendeklarasikan komitmen kebangsaan mereka dengan judul “Indonesia yang dicita-citakan”. Deklarasi itu bertempat di Cipayung Jawa Barat. Dua tahun setelah deklarasi itu, PMII kemudian bergabung dalam kelompok ini. Sesungguhnya, kelompok cipayung adalah mozaik yang menjadi cermin masyarakat Indonesia yang mejemuk. Olehnya, kelompok ini lahir dari kesadaran bahwa bangsa ini memang memiliki kekayaan perbedaan yang dapat diikat mejadi kekuatan bangsa untuk mencapai masa depan Indonesia yang lebih baik. Dalam mengefektifkan sumbangsih pada pergerakan kebangsaan dan kepoloporan pemuda, kelompok cipayung kemudian menjadi pioneer dibentuknya wadah berhimpun pemuda Indonesia yang dinamakan Komite Nasional Pemuda Indonesia pada tahun 1973 dan pada zaman orde baru dengan politik korporasinya, KNPI dijadikan sebagai satu-satunya lembaga berhimpun. Dinamika Kelompok Cipayung mengalami pasang surutnya. Pasca ulang tahun perak kelompok Cipayung pada 26 Januari 1997, dinyatakan bahwa diperlukan revitalisasi kelompok Cipayung, karena akselerasi perubahan yang bergerak cepat. Akan tetapi, momentum ulang tahun perak kelompok Cipayung tidaklah cukup kuat untuk membuat sinkronisasi dan sinergisme perjuangan dikalangan lima organisasi yang banyak memproduksi pemimpin bangsa dalam segala tingkatan, baik elit politik dan penyelenggara Negara, maupun akademisi, intelektual dan aktifis lembaga swadaya masyarakat. Dinamika politik yang semakin kompleks dan pola kaderisasi sebagai ciri dari masing organisasi menjadi indikasi kuat terjebaknya kelompok Cipayung pada hal-hal yang pragmatis politik. Sehingga bangunan kebersamaan dan solidaritas dalam perjuangan mencapai Indonesia yang dicita-citakan, yang menjadi cita-cita 1972 tidak dapat di pertahankan secara efektif. Interaksi antara kelompok Cipayung semakin mengalami ketegangan-ketegangan. Pedahal saat itu, sekitar tahun 1996-1997 sangat dibutuhkan penguatan-penguatan komitmern kebangsaan dan kemajemukan. Apalagi dengan berbagai peristiwa-peristiwa konflik komunal di Sitobondo dan sekitarnya, dan Tasikmalaya. Dalam setting kondisi internal dan bangunan interaksi kelompok Cipayung yang seperti tergambar diatas, dan dinamika kebangsaan yang tidak kondusif karena berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai daerah termasuk masalah Situbondo dan Tasikmalaya serta pola-pola pembangunan politik yang dilakukan orde baru yang otoriter, pada tanggal 5 Februari 1997 dideklarasikanlah Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia yang disingkat FKPI oleh empat organisasi yang sebanarnya bagian dari lima organisasi dalam kelompok Cipayung yakni PMII, PMKRI, GMKI, dan GMNI, bersama empat organisasi pemuda lainnya yakni GAMKI, Pemuda Demokrat, IPNU, dan IPPNU. Selain lembaga-lembaga pemuda diatas, berdirinya komunitas-komunitas kepemudaan dengan keragaman aktifitas. Ada yang kehadirannya karena factor ideologis dan identitas, dan ada juga yang dilatarbelakangi oleh factor profesi atau hobi, serta ada juga karena hal-hal khusus yang pragmatis politik. Pada dekade ini mahasiswa nyaris mengalami degradasi moral, dimana banyak mahasiswa mulai terkontaminasi dengan budaya hedonis, sehingga nilai-nilai kekritisan tersebut tereduksi oleh peitisme. Mungkin juga banyak mahasiswa yang masih terjaga idealismenya dan mungkin juga ada mahasiswa yang telah tereduksi iedalismenya. Mahasiwa adalah penjaga gawang dari negara ini . Semua perubahan yang terjadi dalam negara itu adalah perjuangan mahasiswa, karena dengan semangat bermaphalus, bermasohi, kepolosan, keluguan dan keinginan tahuan yang tinggi, ia akan selalu hadir dalam setiap arak-arakan nasionalisme dalam mengawal dan mengontrol jalannya sistem pemerintahan yang berkepribadian dan demokratis. Mahasiswa adalah jantung dari negara ini karena setiap tindak tanduk dari pemerintah akan dikontrol oleh mahasiswa, namun di era reformasi ini, pergerakan mahasiswa semakin meredup seiring dengan perkembangan informasi dan teknologi yang kian pesat. Bukan sebaliknya dengan perkambangan informasi dan teknologi ini memberikan dampak yang positif bagi mahasiswa, tetapi yang terjadi adalah dampak negetif yang lebih menonjol. Sebagai contoh bahwa perkambangan informasi teknologi tersebut telah meredupkan spirit pergerakan mahasiswa yakni kecendrungan budaya membaca (dedah buku) semakin minim, dan tingkat kekritisan dalam budaya diskusi secara formal maupun informal juga ikut terseret dalam arus globalis ini .

C.        Gerakan Mahasiswa Dalam Menyikapi Realita Kebangsaan
Problematikan kebangsan saat ini sulit untuk diprediksikan, karena realita permasalahan silih berganti dalam proses penyelenggaraan negara. Banyak kasus kebangsaan saat ini yang kurang mendapat perhatian yang serius dari pemerintah , disebabkan oleh dikotomi perebutan kekuasaan ysng berorintasi pada eksistensi diri, bukan pada eksistensi melayani. Seharusnya etika penyelenggaraan pemerintahan ini harus berorientasi pada sistem pelayanan prima serta sistem pelaporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, sehingga kasus praktek KKN yang marak dinegeri ini dapat diselesaiakan di depan pengadilan. Apabila di telusuri lebih khusus, di kalangan masyarakat muncul anggapan yang menuduh, bahwa actor sekaligus factor luar yang membuat nasionalisme Indonesia seakan tersandera adalah karena kuatnya pendekatan pembangunan kontemporer dan mutakhir yang dikembangkan oleh negara-negara dunia pertama pasca perang dunia kedua dan semakin mencapai puncaknya pada akhir abad keduapuluh lalu ketika perang dingin antara blok timur (Pakta Warsawa) yang dipimpin oleh Uni-Soviet dan Blok Barat (NATO) yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Inggris dimenangkan oleh Blok Barat. Pendekatan pembangunan ala Barat itu sering di bahasakan dengan globalisasi atau Neolioberalisme yang salah satu instrumennya adalah peran negara dalam konteks nation state semaikin ditempatkan seminimal mungkin (minimal state). Negara merupakan integritas dari kekusaan politik serta menajdi alat masyarakat yang memiliki kewenangan untuk mengatur hubungan manusia dalam masyarakat. untuk itu negara memiliki tugas pokok yakni: (1). Mengendalikan dan mengatur gejal-gejala sosial atau gejala yang bertentangan satu sama lain agar tidak terjadi antogonistik yang membahayakan; dan (2). Mengorganisasikan dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan gologan-golongan untuk tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Dalam bentuk negara, negara dapat di bedakan menjadi dua bagian yaitu negara kesatuan (unitaris) dan negara federasi. (federations). Fenomena negara dalam defenisi bangsa Indonesia adalah bahwa negara merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam sebuah masyarakat sehingga negara bisa memaksa kehendaknya dan bahkan negara memiliki keabsahan untuk menggunakan kekerasan fisik dalam memaksa kepatuhan rakyat terhadap perintah-perintah atau kebijakan yang dikeluarkan negara atau suatu badan institusi . Fakta sejarah menunjukan bahwa setiap perubahan di masyarakat, bangsa dan Negara ini baik sebelum kemerdekaan maupun sesudah kemerdekaan pemuda selalu menjadi agen perubahan itu. Sebut saja, penelitian dari Anderson mengenai perubahan politik Indonesia tahun 1944-1945, bahwa pemudalah yang memiliki peranan paling signifikan dalam pergerakan nasional untuk memerdekakan Indonesia dari kolonialisme. Dalam membanguan gerakan mahasiswa yang lebih produktif, maka dibutuhkan suatu kurikulm pendidikan yang berbasis pada resolusi konflik, dan budaya mengatasi resolusi konflik. Budaya ini yang harus diejawantahkan dalam kehidupan rumah intelektualitas (kampus) agar terciptanya daya dan nalar kepudulian mahasiswa terhadap segala persoalan yang terjadi dalam negara ini. Untuk itu tindakan pedadogi ini harus mendapat perhatian secara serius dari pemerintah agar dapat membangun budaya bangsa tolong-menolog (nasionalisme) dalam membangun negeri yang terceinta ini. Menurut Stanley I. Benn, terdapat lima pengertian sebelum sekelompok orang menetapkan definisi nasionalismenya yakni: satu, nasionalisme mempengaruhi sentimen loyalitas kepada negara. Ini terkait dengan patriotisme; dua, nasionalisme cenderung di gunakan dalam dunia politik untuk menimbang berbagai kepentingan suatu bangsa, khususnya ketika bersaing dengan bangsa lain; tiga, nasionalisme tercermin melalui sikap yang meletakkan kepentingan bangsa sebagai sikap tertinggi dalam karakteristik suatu bangsa; empat, nasionalisme harus di jabarkan untuk mempertahankan kultur nasional; dan kelima, nasionalisme berasal dari sifat-sifat antropologis manusia untuk mengidentifikasi kelompoknya berdasarkan criteria tertentu dengan cara memberi pengakuan keanggotaan pada masing-masing, memberi nama kepada pemerintahnya yang independent dan melegitimasi batasan-batasa kenegaraan yang menjadi tempat tinggalnya berdasarkan konstitusi.

D.       Realita kebangsaan dalam dunia pendidikan.
Fakta:
1.     Hingga peringatan Hari Pendidikan Nasioal (HarDikNas), 2 Mei tahun 2009 ini angka buta huruf di Indonesia masih sangat tinggi yaitu dari populasi manusia indonesia yang mengenyam pendidikan SD-SMA/SMK 43,9 juta atau dua kali jumlah penduduk malaysia dan tujuh kali jumlah penduduk Laos. Sedangkan jumlah mahasiswa saat ini mencapai 4,5 juta orang, begitu juga dengan jumlah guru lebih dari 2,7 juta orang atau lebih banyak dari penduduk Brunei Darussalam. Penduduk indonesia saat ini lebih dari 227 juta yang tersebar di 457 kabupaten/kota hingga akhir 2008 tercatat 159 kabupaten merupakan kabupaten tertinggal dan 34,96 juta penduduk miskin. (Rabu, 29 April 2009. Republika. hal 7). Bukti ini menunjukkan bahwa akar penyebabnya semua ini adalah pendidikan yang masih mengalami ketertinggalan.
2.   Masih banyak peserta didik yang belum mendapatkan kesempatan dan fasilitas yang layak di sekolah-sekolah. Mereka bukan saja ketiadaan tempat belajar (Gedung Sekolah) tetapi juga kekurangan tenaga pendidik, buku-buku ajar dan fasilitas standar lainnya.
3.    Pemberlakuan UU Badan Hukum Milik Negara (BHMN) seluruh univesrsitas. Jelas bertentangan dengan Konstitusi, dimana terlihat pembiaran negara terhadapa kewajiban dasarnya dan menyerahkan urusan pendidikan pada mekanisme pasar (NeoLiberalisme). Indikator dari hal ini adalah:
Tingginya biaya pendidikan. Pendidikan berorientasi pada pasar kerja (menghasilkan tukang-tukang/robot-robot pendidikan) sehingga pendidikan terasing dari dirinya sebagai manusia yang memanusiakan.
4.   Belum terealisasikannya anggaran pendidikan sebanyak 21% dari APBD/APBN pada tahun 2009 kemarin senilai Rp 117,862 triliun.
5.    Angaran pendidkan pada tahun 2010 ini diturunkan manjadi 20,6% senilai Rp 113,109 triliun berarti anggaran pendidikan yang harus dipangkas senilai Rp 11,7 Triliun (Kamis, 23 April 2009. Kompas. hal 12) Ini menunjukkan bahwa tidak ada konsistnsi secara serius dari pemerintah terkait dengan memajukan pendidikan
6.    Belum adanya konsep dan paradigma negara yang jelas dan berjangka panjang terkait dengan penyusunan konsep (Grand Design) pendidikan di Indonesia.

E.        Reposisi Gerakan Mahasiswa Dalam Menyikapi Realita Kebangsaan
Dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut. Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, . Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis . Hal ini senada dengan pendapat Immanuel kant (dalam kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis bacon (dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences). Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge ”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997). ilmu tersebut lahir dari sebuah proses berpikir yang original, seperti apa yang diungkana oleh holbach ”beranilah berpikir sendiri” artinya untuk menjaga keaslian berpikir, maka setiap orang mempunyai hak untuk berpikir serta merumuskan hasil pemikiran-pemikirannya tersebut sehingga pemikirannya itu dapat diuji ssecara ilmih. ilmiah bukan berarti harus dikukur dengan angka-angka, tetapi ilimah itu bisa diukur dengan seberapa jauh orang-orang bisa menerima pendapat tersebut. Apabila suatu ilmu hanya berpatokan data dan angka-angka saja, maka ilmu tersebut sebenarnya mau mendewakan diri. justru seharusnya kegiatan ilmu itu adalah saling isi mengisi, saling topang menopang, dan saling control mengontrol. apabila tidak ada topang menopang, isi mengisi, dan kontrol mengontrol maka yang terjadi adalah kehampaan ilmu yakni kediktatoran ilmu. apabila terjadi kediktaroan ilmu maka ilmu juga akan merubah menset dan behavioralisme dari individu yang mengkonsumsi tersebut menjadi seorang diktator. tetapi apabila ada keseimbangan berpikir (persamaan perspektif) maka tidak mungkin orang akan bertindak diktator .

F.     Penutup
a. Simpulan
Melihat dari pemaparan singkat diatas maka ada sebuah pertanyaan besar yang menggelitik hati kita yaitu: Mengapa dalam pola kepemerintahan dewasa ini peranan masyarakat (society) perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar? Apakah Karena pemerintahan tradisional telah cenderung mengabaikan aktualisasi keberadaan masyarakat sebagai subyek pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik? sehingga di berbagai Negara terdapat fakta bahwa dengan pembangunan nasional yang di kendalikan sepenuhnya oleh pemerintah, justru berakhir dengan kesengsaraan, bukan kesejahteraan masyarakat. Guna mengembalikan gerakan mahsiswa ini ketempat yang semula maka kita harus melakukan:
1.     Reformasi struktur kekusaan yang menghegemoni kehidupan seluruh komponen masyarakat,
2.   Reformasi motode esensi pelayanan prima yang tidak berberprikemanusiaan,
3.    Reformasi instrumen pemerintahan yang sporadis,
4.   Membangun format kelembagaan dan pola tindakan mediasi antar semua elemen Gerakan Mahasiswa,
5.    Menformulasikan berbagai kepentingan yang berbeda dalam spirit gerakan mahasiswa,
6.    Melakukan tindakan impresi dan expresi terdapat berbagai isu baru yang sangat strategis,
7.    Melakukan tindakan konkrit yang menjadi pusat perhatian dari seluruh aktor yang terlibat dalam interaksi sosial politik, baik dari lingkungan pemerintah maupun masyarakat,
8.   Memperkuat konvergensi atau ke-se-arah-an tujuan dan kepentingan untuk menghasilkan dampak yang bersifat sinergis atau situasi menang-menang (win-win situation) bagi seluruh rakyat Indonesia

a.  Saran:
Untuk itu Kita jangan mudah goyah terhdap setiap persoalan yang terjadi dalam realita kebangsaan ini, tetapi kita harus berdiri teguh sembari menyusun panji-panji kekuatan untuk merebut kembali negara ini, dari para hantu-hantu penghisap darah rakyat. Salah satu strategi untuk kita dapat mengambil kembali cita-cita negara indonesia sesuai dengan spirit egelitarian dan gotongroyong adalah kita boleh tidak larut dalam ’’budaya konsumisme hedonistik’’. Jadi kalau kita bersedia ikut membangun Indonesia yang adil dan solider, yang demokratis dan tetap menghargai pluralitas, perjuangan kita akan berhasil.

Teriring Salam Doa Agung Tuhan Yesus Kristus

Tinggi Iman
Tinggi Ilmu
Tinggi Pengabdian

“Ut Omnes Unum Sint”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar