WELCOME

” Blogger ini bukan merupakan forum penghakiman ataupun penuduhan. tetapi merupakan kesempatan proses pembelajaran strategis untuk mengasah dan membangun nalar yang konstruktif/kristis, kemampuan konseosi dan taktik belajar yang efektif

Kamis, 21 Oktober 2010

SISTEM EKSPERIMENTAL DALAM DUNIA PENDIDIKAN


A.       Prolog
Negara Indonesia adalah Negara yang kaya dengan keindahan alam maupun kaya dengan multikulturalisme. Kekayaan tersebut terkadang menutup mata, hati dan pkiran kita. Kehadiran Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) sangat meresahkan masyarakat, guru, dosen maupun anak didik orang tua. Keresahan ini sangat dirasakan apabila UU BHP diimplemnetasikan, maka system pendidikan bangsa ini akan mengalami dikotomi intelektual. Artinya hegemoni kekuasaan dalam kehidupan pendidikan akan semakin parah. Akibatnya banyak anak-anak maupun dosen, guru yang akan menanggung beban yaitu terjadi pengkerdilan kretifitas berpikir, anak putus sekolah serta dosen dan guru honor akan dihentikan. Kahadiran UU BHP adalah strategi dari pemerintah dalam menanggulangi maraknya aksi yang dilakukan oleh mahasiswa. Seolah-olah kita diperhadapkan dengan nurani kita. Maksud dari perkataan “nurani” adalah kreatifitas dan inovatif nalar kontruktif dikengkang dengan rule yang tidak seharusnya hadir dalam mengejawantahkan kreatifitas berpikir. Namun terkadangn pemerintah apatis dengan kehidupan social ini yaitu pemerintah sengaja melegalkan tindakan represif tersebut agar kehidupan dunia pendidikan dapat dikontrol dengan baik. Manifestasi politik semacam ini adalah bentuk pelanggaran konstitusi Negara yaitu pada alinea ke 4 UUD 1945 tentang mencerdaskan kehidupan bangsa. Kehadiran UU BHP adalah tindakan penjajahan kreatifitas yang dilakukan oleh MenDiknas. Pengesahan UU BHP menimbulkan berbagai kontradiksi paradigmatic dari masyarakat maupun dari Perguruan Tinaggi karena idealnya tanpa UU BHP Pun masyarakat sudah merasa betapa beratnya biaya pendidikan saat ini. Apabila pendidikan saat ini mendapat tempat yang layak maka Negara Indonesia ini tidak mengalami krisis multicultural yang berkepanjangan. Krisis tersebut telah menghadirkan krisis nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki. Pendidikan memegang peran penting dalam membangun suatu Negara karena apabila masyarakat telah sadar dengan berbagai dikotomi yang terjadi dalam tubuh pemerintah maka mereka akan melakukan tindakan protes terhadap pemerintah. Itulah sebabnya pemerintah melegalkan segala cara demi kepentingan segelintir orang dan kelompok. Padahal kepentingakan tersebut bersifat jangka pendek yaitu ketika pendidikan tersebut telah dikomersialisasikan maka kehidupan anak bangsa ini telah di perjual belikan, ini sama saja dengan senjata pembunuh massal karena lama-kelamaan rakyat ini akan mengalami penderitaan yang tidak akan habisnya yaitu kemiskinan dan kesengsaraan akan terus melanda negeri tercinta ini. Sedangkan impact jangka panjangnya adalah hal-hal vital seperti pendidikan yang menjadi tanggung jawab Negara dipertaruhkan demi kepuasan duniawi sehingga kesuburan pengreduksiaan hakekat kemanusiaan akan terus berkembang biak yaitu pendidikan akan menjadi alat/mesin pembunuh kepribadian moral anak bangsa yang tidak berkesudahan baik itu dari tingkatan Pra TK hingga pada tingkatan PT.

B.       Aspek Komersialisasi Pendidikan dan Hukum
Telah diungkapkan pada prolog diatas, pendidikan adalah hak setiap individu karena dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4 menegaskan bahwa pendidikan adalah tanggungjawab Negara termasuk didalamnya mendanai anggaran pendidikan dengan anggaran sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Begitu juga dengan spirit UU No. 20 Th 2003 yaitu pendidikan adalah tanggung jawab Negara. Namun UU BHP-BHMN adalah sangat mencelakan anak bangsa yaitu pada pasal 41 ayat 7 yaitu peserta didik yang ikut menaggung biaya penyelenggara pendidikan harus menanggung biaya tersebut dengan kemampuan peserta didik, orang tua, atau pihak yang bertanggung jawan membiayainya. Melihat dari pasal ini sangat krusial karena ketika biaya pendidika diserahkan kembali sepenuhnya kepada peserta didik maka seolah-olah Negara apatis dengan tanggungjawabnya. Artinya komersialisasi pendidikan telah terjadi karena beban pendidikan yang seharusnya ditanggung oleh Negara kini Negara memberatkan pada peserta didik. Artinya ketika UU BHP tersebut menetapkan anggaran pendidikan yang tidak dapat dijangkau oleh peserta didik maka anggaran tersebut bukan lagi tanggungjawab Negara. Sedangkan dalam Declaration of Human Rights 1949 (PBB) pada pasal 26 deklarasi HAM tegas-tegas mengatakan: setiap orang berhak atas pendidikan. Ironisnya kita melegalkan tindakan pembodohan massal ini terjadi dalam bangsa kita dan orang-orang yang melegalkan produk UU BHP ini adalah orang-orang yang kurang manusiawi dan bermoral karena moralitas mereka telah dihantui dengan kehidupan matrealistis sehingga bukan lagi hati nurani yang berbicara namun nafsu duniawi yang menghegemoni batin mereka. Pada pasal 55 ayat 2 UU BHP sangat kontra yaitu pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berstatus pegawai negeri sipil yang dipekerjakan atau pegawai badan hokum pendidikan. Jikalau UU BHP ini mengamanatkan seperti itu maka yang terjadi adalah guru, dosen, dan tenaga pendidik honorer akan mengalami nasib yang sangat buruk yaitu mereka harus mematuhi UU BHP ini sesuai dengan amanat kebijakan pemerintah. Ketika pemerintah melegalkan suatu tindakan represif dan sekelompok mahasiswa melakukan aksi protes tersebut maka manifestasi politik antara pemerintah, guru, dosen, dan tenaga pendidik lainnya akan turut mendukung kebijakan dan tindakan represif tersebut. Karena kehidupan dunia pendidikan sudah diatur dengan nurani matrial bukan lagi dengan nurani yang sehat. Artinya penyakit biropatologi yang sebenarnya berada dalam birokrasi kini harus bergeser masuk kelingkungan Perguruan Tinggi. Begitu juga dengan predikat reformasi yang saat ini kita banggakan, bahwa reformasi yang kita banggakan adalah reformasi structural-sentralistik bukan reformasi behavioralisme berkepribadian sebagai Negara yang utuh dan konsisten dengan spirit UUD 1945 yang sebenarnya. Feodalisme paradigmatic semacam ini mulai menjamur dan menjangkiti sendi-sendi kehidupan bangsa sehingga manusia selalu berpikir yang instant dan pragmatis dalam mengambil suatu kebijakan. Salah satu tipikal pragmatisme dan feodalisme dari pemerintah/Negara adalah men-komersialisasi-kan manusia dalam bentuk produk UU salah satunya adalah kehadiran UU BHP. System Negara Indonesia ini adalah system ekperimental yaitu “system coba-coba”. System coba-coba inilah yang mengkambinghitamkan anak bangsanya sendiri. Seperti apa yang dikatakan oleh Karl Marx yaitu kita telah terjerumus pada lingkaran setan. Artinya kehidupan kampus ini akan kembali seperti kehidupan kampus masa rezim orde baru yaitu Normalisasi Kehidupan Kampus. Yang dimana setiap aktivitas dan tindak-tanduk mahasiswa akan selalu dikontrol oleh pemerintah/Negara. Lalu pertanyaannya adalah siapkah yang harus menjadi fungsi kontrol Negara? Inilah sebuah strategi Negara dalam melegalkan segala cara. Artinya ketika pemerintah melakukan pelanggaran HAM maka dianggap sebagai suatu kewajaran karena mahasiswa yang seharus sebagai fungsi control dari pemerintah kini menjadi antek dari mereka melalui dengan UU BHP. Strukturisasi pemerintah dalam memainkan perannya telah menghanyutkan mahasiswa dalam lembah kenistaan. Kebebasan yang seharusnya menjadi hak asasi manusia kini hanya tinggal wacana. Karena kebebasan sejati terjadi ketika manusia mencoba mengungkapkan jati diri seperti apa adanya. Manusia sendirilah yang menentukan kebebasan dalam nalar kontruktifnya bukan kebebasan yang mengkekang nalar kontruktif dan moral. Kehadiran manusia yang seutuhnya dirasakan apabila kebebasan tersebut bersemayam didalam dirinya. Dan ketika kebebasan berekspresi dan berinovatif diintrodusir maka dengan berbagai kebijakan maka yang timbul adalah revolusi moral yaitu kita harus mampu melakukan pembongkaran paradigmatic nalar dalam kehidupan sehari-hari sehingga pengkristalan nalar tersebut menjadi lilin-lilin kecil yang dapat menyinari kehidupan pluralisme bangsa ini.

C.    Aspek Politik
Membangun suatu Negara yang kokoh dibutuhkan akan suatu pandangan tentang teori politik, karena teori politik adalah pembentukan tingkahlaku kita. Menurut penulis Teori adalah sekumpulan rangkaian berpikir yang secara sistematis sedang politik adalah serangkaian strategi dalam menjalalankan teori. Jadir teori politik adalah serangkkain pemikiran yang terstrukturisasi guna meraih dan mempertahankan kekuasaa. Artinya ketika kekuasaan yang seseorang inginkan maka ia akan terus mempertahan kekuasaan tersebut yaitu dengan serangkaian teori untuk mencari kebenaran sebagai bentuk representative dari Negara. Begitu juga dengan kehadiran UU BHP sangat meresahkan kehidupan masyarakat pluralis. Karena akses untuk mendapat pendidikan dan mencerdaskan kreatifitas berpikir dikengkang dengan UU BHP tersebut. Masyarakat yang miskin akan tetap miskin sedangkan yang kaya akan tetap menjadi kaya. Mengapa demikian? Karena UU BHP membuka peluang besar bagi kaum-kaum pemodal dalam mengakses pendidikan. Hal tersebut sama saja menciptakan kelas-kelas dalam kehidupan secara civil society. Bagi rakyat kalangan menengah akan terkooptasi dengan rule yang telah disahkan ini. Negara apatis dengan pendidikan saat ini yang dimana anggaran 20% yang telah diamanatkan dalam UUD 1945 pada pasal 31 ayat 4 hanya menjadi buah bibir kaum penguasa. Feodalisme paradigmatic tersebut terpelihara dengan baik serta proses KKN semakin menjamur yaitu leberalisasi dunia pendidikan adalah tujuan Negara. Mengapa dikatan sebagai tujuan Negara? karena Negara tidak ambil pusing dalam membesarkan intelektualitas anak bangsa yang ada hanya pengkerdilan mentalitas dan kreatifitas nalar anak bangsa. Ini merupakan dosa yang cukup besar seperti apa yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi yaitu 7 versi dosa social: 1. Politik tanpa prinsip; 2. Kekayaan tanpa kerja keras; 3. Perniagaan tanpa moralitas; 4. Kesenangan tanpa nurani; 5. Pendidikan tanpa karakter; 6. Sains tanpa humanitas; 7. Peribadatan tanpa pengorbanan. Ketika Negara/pemerintah tidak dapat lagi memenuhi panggilan UUD 45 maka pemerintah telah melakukan suatu tindakan amoral. Tindakan amoral tersebut mendapat legitimit dari kaum-kaum komprador karena amoral telah menutupi kalbu mereka sehingga yang tertinggal hanya antagonisme. Seperti apa yang dikatan oleh Cece Patmadinata bahwa: “Lebih baik mata rusak dari pada batin rusak, karena harus berpikir yang tidak sehat”. Ketika nafsu duniawi telah mereduksi iman seseorang maka setanpun tersenyum menyambut kedatangannya yaitu kedatangan duniawi (matrealisme-kapitalisme global). Bumipun ikut menjadi korban dari keberingisan dan keganasan manusiawi. Bumi yang adalah tempat kita berpijak dan mencari nafkah tidak luput dari sergapan keserakahan individual. Disinilah kemengan teori modernisme dan post modernisme. Yaitu kita selalu meletakkan Tuhan pada tempat tertinggi (atas langit) dan manusia pada tempat terendah (bawah kolong langit) sehingga egosentrisme modernisme mengalahkan supraspiritualitas. Metaphor politik mulai mencari formula baru dengan memakai identitas baru yaitu agama dipolitisir menjadi jargon dalam kampanye mapun simpatik rakyat. Kehadiran UU BHP tersebut adalah sebuah metafisika karena UU BHP diukur dengan tingkat pasal per pasal bukan diukur dengan tingkat fleksibelitas subjektif moral. Akhirnya subjektif menjadi melahirkan tindakan destruktif sedangkan moralitas melahirkan egosentrisme dan berujung pada eksistensi individual dan kelompok. Ini juga merupakan dari impact globalisasi yang berkembang dalam dunia ketiga. Globalisasi tersebut mencoba merasuki kehidupan sensitive duniawi yaitu merasuki relung sanubari ibu pertiwi. Globalisasi merupakan suatu produk manifestasi imprealisme yang tidak kunjung akhirnya yakni kehadiran globalisasi menciptakan kesenjangan social yang tidak berprikemanusiaan. Produk UU BHP adalah satu dari sekian banyak manifestasi globalisasi yaitu terjadi komersialisasi intelektualitas dalam ranah komoditi. Seperti apa yang dikatakn oleh Romo Sandyawan bahwa: “Memang saya merasa lemah, namun saya tidak sudi tunduk mengabdi pada ketakutan, karena ketakutan adalah sumber kekerasan dan kedosaan”. Ketika kita merasa takut pada ketakutan sendiri maka kedosaan matrealisme tersebut akan menghantui hati kita laksana kita di hipnotis. Perlawanan iman dengan realita memang cukup berat namun perlawan tersebut harus dihadapi dengan pikiran yang positif dan ketika pikiran positif dielaborasi maka solutif yang kita inginkan akan dihasilkan.

D     Simpulan
Dalam pembukaan UUD 1945 tercantum jelas bahwa salah satu tujuan dari pembentukan Negara Kesatuan RI adalah ...untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.... Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah kewajiban negara dan merupakan Hak Asasi Manusia. Namun, kini Negara “terkesan” menyerahkan tanggung jawab-nya. Hal ini dapat dibuktikan dengan arus gejala munculnya sekian banyak Undang-undang dalam sistem pendidikan nasional yang memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada pelaku pasar untuk mengelola pendidikan, baik pendidikan dasar (play grup-taman kanak-kanak), pendidikan menengah (SMP,SMU/Sederajat) dan pendidikan tinggi (Diploma, Institute, Akademi hingga Universitas). Pembiaran negara terhadap hak-hak dasar manusia khususnya dalam bidang pendidikan telah menyebabkan krisis yang besar pada masa depan manusia pendidikan Indonesia ke depan. Pendidikan yang dimaksud disini adalah pendidikan formal. Pendidikan yang humanis, populis dan demokratis merupakan ujung tombak membangun watak bangsa yang serta merta membawa bangsa ini keluar dari keterpurukannya (krisis multidimensional). Standarisasi ujian nasional yang dikeluarkan oleh pememerintah merupakan suatu tindakan yang membunuh kreatifitas anan didik (siswa/i), karena standar kelulusan belum tentu bisa menjawab tuntutan zaman, artinya intelektualitas anak didik diukur dengan waktu yang ditentukan, bukan diukur dengan daya kreatifitas dan imajinatif anak didik sehingga terciptanya pengkristalan nalar kontruktif dari anak didik. Bukan dibebani anak didik dengan standarisasi pendidikan. Pertanyaan adalah apakah intelektualitas anak didik diukur dengan standar pendidikan? Dan bagaimanakah standar kelulusan bisa menjawab intelektualitas anak didik? Darimanakah barometer standarisasi (standar kelulusan) bisa menjawab kebutuhan sosial? Sekali lagi pemerataan pendidikan dan pemenuhan kebutuhan akan pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia karena dengan jelas tertuang dalam UU 45 pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga indonesia berhak untuk mendapatkan pengajaran. Serta hal ini dipertegas dengan diratifikasinya kovenan international tentang hak ekonomi, sosial, budaya (ecosob) ke dalam hukum positif Indonesia oleh pemerintahan SBY-JK pada tahun 2004 lalu. Dimana dalam Hak Ecosob memberi penegasan yang jelas tentang Hak atas pekerjaan, pendidikan, kesehatan, perumahan dan kesejahteraan. Sehingga sekali lagi kami tegaskan bahwa pemerataan pendidikan dan pemenuhan kebutuhan pendidikan merupakan hak asasi warga negara Indonesia

E.     Fakta:
1.     Hingga peringatan Hari Pendidikan Nasioal (HarDikNas), 2 Mei tahun 2009 ini angka buta huruf di Indonesia masih sangat tinggi yaitu dari populasi manusia indonesia yang mengenyam pendidikan SD-SMA/SMK 43,9 juta atau dua kali jumlah penduduk malaysia dan tujuh kali jumlah penduduk Laos. Sedangkan jumlah mahasiswa saat ini mencapai 4,5 juta orang, begitu juga dengan jumlah guru lebih dari 2,7 juta orang atau lebih banyak dari penduduk Brunei Darussalam. Penduduk indonesia saat ini lebih dari 227 juta yang tersebar di 457 kabupaten/kota hingga akhir 2008 tercatat 159 kabupaten merupakan kabupaten tertinggal dan 34,96 juta penduduk miskin. (Rabu, 29 April 2009. Republika. hal 7). Bukti ini menunjukkan bahwa akar penyebabnya semua ini adalah pendidikan yang masih mengalami ketertinggalan.
2.   Masih banyak peserta didik yang belum mendapatkan kesempatan dan fasilitas yang layak di sekolah-sekolah. Mereka bukan saja ketiadaan tempat belajar (Gedung Sekolah) tetapi juga kekurangan tenaga pendidik, buku-buku ajar dan fasilitas standar lainnya.
3.    Pemberlakuan UU Badan Hukum Milik Negara (BHMN) seluruh univesrsitas serta UU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Jelas bertentangan dengan Konstitusi, dimana terlihat pembiaran negara terhadapa kewajiban dasarnya dan menyerahkan urusan pendidikan pada mekanisme pasar (NeoLiberalisme). Indikator dari hal ini adalah: Tingginya biaya pendidikan. Pendidikan berorientasi pada pasar kerja (menghasilkan tukang-tukang/robot-robot pendidikan) sehingga manusia pendidikan terasing dari dirinya sebagai manusia.
4.   Belum terealisasikannya anggaran pendidikan sebanyak 21% dari APBD/APBN pada tahun ini senilai Rp 117,862 triliun.
5.    Angaran pendidkan pada tahun 2010 akan diturunkan manjadi 20,6% pada tahun 2010 senilai Rp 113,109 triliun berarti anggaran pendidikan yang harus dipangkas senilai Rp 11,7 Triliun (Kamis, 23 April 2009. Kompas. hal 12) Ini menunjukkan bahwa tidak ada konsistnsi secara serius dari pemerintah terkait dengan memajukan pendidikan
6.    Belum adanya konsep dan paradigma negara yang jelas dan berjangka panjang terkait dengan penyusunan konsep (Grand Design) pendidikan di Indonesia.

A. Tuntutan:
Untuk itu maka kami Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Menyatakan Sikap:
1.       Meminta ketegasan sikap pemerintah dan wakil rakyat untuk memberikan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan;
2.      Realisasikan anggaran pendidikan sebanyak 21% dari APBD/APBN;
3.      Tolak dan Batalkan Undang-Undang BHMN dan Undang-Undang BHP
4.      Hentikan kapitalisasi pendidikan di Indonesia
5.      Melakukan pengawasan terhadap media yang berbasis teknologi informasi (TV/Internet) yang menayangkan berita, sinetron, film dsb-nya yang berbasis kekerasan termasuk kekerasan psikologis, emosional yang berdampak buruk pada anak,
6.      Hapuskan kurikulum pendidikan yang berbasis kekerasan dan anti kemanusiaan;
7.      Hapuskan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme pada sektor pendidikan;
8.      Ciptakan pendidikan yang ilmiah, humanis dan demokratis sehingga dapat merangsang imajinatif pendidikan yang berbasis pada pengembangan kreatifitas inovatif anak bangsa.

Demikian beberapa catatan kritis yang bisa saya sampaikan dalam diskusi ini, moga-mogahan tulisan ini menjadi suatu referensi pergulatan intelektualitas kita dalam penyampain Syalom Allah ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang pluralis.

Teriring Salam Do’a Agung Tuhan Yesus Kristus

Tinggi Iman,
Tinggi Ilmu,
Tinggi Pengabdian

“UT OMNES UNUM SINT”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar